MAKALAH
Untuk
memenuhi tugas pelajaran Aqidah akhlaq
Yang dibina
oleh Bapak abd basith S.pd.i
Di susun
Oleh
SAKINAH ASH.
SHOFI
KATA
PENGANTAR
Assalamu’alaikum
wr.wb
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat
dan hidayah-Nya,kami bisa menyalesaikan makalah dengan judul “pengertian
tasawuf dan asal usulnya”. Makalah ini di buat untuk memenuhi tugas mata kuliah tasawuf yang
dibina oleh abd basith S.pd.i
Dalam
menyelesaikan makalah ini banyak pihak-pihak yang ikut memberikan bantuan baik
material maupun spiritual, mulai dari orang tua maupun teman-teman yang selalu
mendukung dan memotivasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak
terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Hanya do’a yang bisa penulis
panjatkan semoga yang memberi bantuan mendapat balasan dari Allah SWT.
Makalah
ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun
dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Saran dan kritik akan sangat
bermanfaat bagi makalah selanjutnya. Harapan penulis semoga makalah ini akan
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua orang.
Wassalamu’alaikum
wr.wb
sumenep 16 september
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penulisan Makalah
Akhir-akhir
ini tinjauan analisis terhadapa tasawuf menunjukkan upaya para sufi dengan
berbagai aliran dianutnya memilki suau konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju
Allah SWT. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah), lalu
secara lengkap bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam
(tingkatan) dah ahwal atau hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal mengenal ma’rifat
dari Allah SWT. Dalam berbagai jalan ini yang akan diperjalas adalah tentang
ahwal atau hal (keadaan) dalam prespektif dalam kaum sufi.
Ahwal
atau hal (keadaan) merupakan kondisi psikologis ketika ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu.
Menurut Ath-Thusi, hal tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan).
Adapun hal dapat diperoleh oleh seorang sufi tanpa disengaja atau dating dengan
sendirinya.
B. Rumusan Penulisan
- Apa pengertian tasawuf
- Bagaimana
asal usul tasawuf?
C. Tujuan Penulisan Makalah
- Untuk mengetahui pengertian
dari tasawuf
- Untuk mengetahui asal usul
tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Tasawuf
Dalam penjelasannya, Dr. Harun Nasution menerangkan bahwa: Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1.
Safa dalam arti
suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak
berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama
salat dan puasa.
2.
Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah
baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang
yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan
berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang
berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3.
Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan
meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang
miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai
suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai
apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula
sifat-sifat kaum sufi.
4.
Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat,
dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak,
karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan
ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata
tasawuf.
5.
Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan
tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan
kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini
melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.
Diantara
semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal
kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri
dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama
memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).
B. Asal Usul / Sejarah Tasawuf
Hakikat
dan Sejarah Tasawuf
Hakikat
Tasawuf Seringkali tasawuf dituduh sebagai ajaran sesat. Tasawuf dipersepsikan
sebagai ajaran yang lahir dari rahim non Islam. Ia adalah ritual keagamaan yang
diambil dari tradisi Kristen, Hindu dan Brahmana. Bahkan gerakan sufi,
diidentikan dengan kemalasan bekerja dan berfikir. Betulkah?
Untuk
menilai apakah satu ajaran tidak Islami dan dianggap sebagai terkena infiltrasi
budaya asing tidak cukup hanya karena ada kesamaan istilah atau ditemukannya
beberapa kemiripan dalam laku ritual dengan tradisi agama lain atau karena
ajaran itu muncul belakangan, paska Nabi dan para shahabat. Perlu analisis yang
lebih sabar, mendalam, dan objektif. Tidak bisa hanya dinilai dari kulitnya
saja, tapi harus masuk ke substansi materi dan motif awalnya.
Tasawuf pada mulanya dimaksudkan sebagai tarbiyah akhlak-ruhani: mengamalkan akhlak mulia, dan meninggalkan setiap perilaku tercela. Atau sederhananya, ilmu untuk membersihkan jiwa dan menghaluskan budi pekerti. Demikian Imam Junaid, Syeikh Zakaria al-Anshari mendefiniskan.
Asal kata sufi sendiri ulama berbeda pendapat. Tapi perdebatan asal-usul kata itu tak terlalu penting. Adapun penolakan sebagian orang atas tasawuf karena menganggap kata sufi tidak ada dalam al-Qur\'an, dan tidak dikenal pada zaman Nabi, Shahabat dan tabi\'in tidak otomatis menjadikan tasawuf sebagai ajaran terlarang! Artinya, kalau mau jujur sebetulnya banyak sekali istilah-istilah (seperti nahwu, fikih, dan ushul fikih) yang lahir setelah periode Shahabat, tapi ulama kita tidak alergi, bahkan menggunakannya dengan penuh kesadaran.
Sejarah Tasawuf
Kenapa
gerakan tasawuf baru muncul paska era Shahabat dan Tabi\'in? Kenapa tidak
muncul pada masa Nabi? Jawabnya, saat itu kondisinya tidak membutuhkan tasawuf.
Perilaku umat masih sangat stabil. Sisi akal, jasmani dan ruhani yang menjadi garapan
Islam masih dijalankan secara seimbang. Cara pandang hidupnya jauh dari budaya
pragmatisme, materialisme dan hedonisme.
Tasawuf
sebagai nomenklatur sebuah perlawanan terhadap budaya materialisme belum ada,
bahkan tidak dibutuhkan. Karena Nabi, para Shahabat dan para Tabi\'in pada
hakikatnya sudah sufi: sebuah perilaku yang tidak pernah mengagungkan kehidupan
dunia, tapi juga tidak meremehkannya. Selalu ingat pada Allah Swt sebagai sang
Khaliq
Ketika
kekuasaan Islam makin meluas. Ketika kehidupan ekonomi dan sosial makin mapan,
mulailah orang-orang lalai pada sisi ruhani. Budaya hedonisme pun menjadi
fenomena umum. Saat itulah timbul gerakan tasawuf (sekitar abad 2 Hijriah).
Gerakan yang bertujuan untuk mengingatkan tentang hakikat hidup. Konon, menurut
pengarang Kasf adh-Dhunun, orang yang pertama kali dijuluki as-shufi adalah Abu
Hasyim as-Shufi (w. 150 H)
Karena
tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama
Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa
aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada
yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang
mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun
pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang
yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang
yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi
musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga
mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik,
pemurah dan suka menolong.
Pengaruh
filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam
filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian
turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang
pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke
tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan
memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan
beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin
di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi
oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu
dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui
ibadat yang banyak.
Masih
dari filsafat Yunani, pengaruh itu dikaitkan dengan filsafat emanasi Plotinus.
Roh memancar dari diri Tuhan dan akan kembali ke Tuhan. Tapi, sama dengan
Pythagoras, dia berpendapat bahwa roh yang masuk ke dalam tubuh manusia juga
kotor, dan tak dapat kembali ke Tuhan. Selama masih kotor, ia akan tetap
tinggal di bumi berusaha membersihkan diri melalui reinkarnasi. Kalau sudah
bersih, ia dapat mendekatkan diri dengan Tuhan sampai ke tingkat bersatu dengan
Dia di bumi ini.
Paham
penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu
memang bertentangan dengan ajaran al-Qur’an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak
akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi
ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus
tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf
Islam.
Dari
agama Buddha, pengaruhnya dikatakan dari konsep Nirwana. Nirwana dapat dicapai
dengan meninggalkan dunia, memasuki hidup kontemplasi dan menghancurkan diri.
Ajaran menghancurkan diri untuk bersatu dengan Tuhan juga terdapat dalam Islam.
Sedangkan pengaruh dari agama Hindu dikatakan datang dari ajaran bersatunya
Atman dengan Brahman melalui kontemplasi dan menjauhi dunia materi. Dalam
tasawuf terdapat pengalaman ittihad, yaitu persatuan roh manusia dengan roh
Tuhan.
Kita perlu mencatat, agama Hindu dan Buddha, filsafat Yunani dan agama Kristen datang lama sebelum Islam. Bahwa yang kemudian datang dipengaruhi oleh yang datang terdahulu adalah suatu kemungkinan. Tapi pendapat serupa ini memerlukan bukti-bukti historis. Dalam kaitan ini timbul pertanyaan: sekiranya ajaran-ajaran tersebut diatas tidak ada, tidakkah mungkin tasawuf timbul dari dalam diri Islam sendiri?
Hakekat
tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan
memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut
al-Qur’an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, “Jika hambaKu
bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang
memanggil jika Aku dipanggil.”
Kaum
sufi mengartikan do’a disini bukan berdo’a, tetapi berseru, agar Tuhan
mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan
kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada
yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, “Timur dan
Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan”
(QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat
dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat
berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, “Telah
Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan
Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya
(QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia,
tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, “Siapa yang
mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya.”
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, “Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).
Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, “Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal.”
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.
Demikianlah ayat-ayat al-Qur’an dan Hadits Nabi menggambarkan betapa dekatnya Tuhan kepada manusia dan juga kepada makhluk-Nya yang lain. Gambaran serupa ini tidak memerlukan pengaruh dari luar agar seorang muslim dapat merasakan kedekatan Tuhan itu. Dengan khusuk dan banyak beribadat ia akan merasakan kedekatan Tuhan, lalu melihat Tuhan dengan mata hatinya dan akhirnya mengalami persatuan rohnya dengan roh Tuhan; dan inilah hakikat tasawuf.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hal terkadang datang pada diri seseorang
dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya sekejap. Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat
karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui
upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks yang demikian
dapat dikatakan bahwa ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan, perbedaannya
hanya ada dalam wilayah teoritis semata.
B. Saran-Saran
Pada point ini penyusun mengharapkan
pada para pembaca untuk senantiasa
meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena
disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca
juga merupakan terapi atas keterpurukan
yang kita sandang saat ini.
Bila tasawuf merupakan sebuah ilmu
berarti telah jelas juga bahwa tasawuf adalah cahaya yang akan menerangi kita
dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan
perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas
landas dari nilai riil dan pokok ajaran tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar