BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Qishash adalah balasan terhadap pelaku sesuai dengan
perbuatannya. Perbuatan yang dilakukan pelaku adalah menghilangkan nyawa orang
lain (membunuh) dalam unsur kesengajaan, maka hukuman yang setimpal bagi pelaku
tersebut yaitu hukuman qishash (mati).
Pembunuhan sengaja dalam syariat islam di ancam dengan
beberapa macam hukuman, yang merupakan hukuman pokok dan pengganti, dan juga
sebagai hukuman tambahan. Dalam hukuman pokoknya terdapat hukum qishash dan kifarat,
sedangkan penggantinya diyat dan takzir.
Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada
pelaku, karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiyaan) dan diberikan
kepada korban atau wali (keluarganya).
B.
Rumusan
Masalah
- Apa pengertian Qishash?Apa saja Syarat-syarat qishash?
- Apa macam-macam kejahatan yang mengakibatkan hukum qishash?
- Apa hal-hal yang menggugurkan hukum qishash?
- Apa pengertian diyat?
- Apa saja kadar diyat?
- Apa macam-macam diyat?
C.
Tujuan
Penulisan
- Untuk mengetahui pengertian Qishash
- Untuk mengetahui syarat-syarat qishash
- Untuk mengetahui macam-macam kejahatan yang mengakibatkan hukum qishash
- Untuk mengetahui hal-hal yang menggugurkan hukum qishash
- Untuk mengetahui pengertian diyat
- Untuk mengetahui saja kadar diyat
- Untuk mengetahui macam-macam diyat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengrtian Qishash
Qishash secara bahasa berarti sama
rata, sepadan. Kata ini di ambil dari kata qhash yang artinya
‘pemotongan’. Atau dari kata iqtishas al-atsar (mengikuti jejak).[1]
Qhisash dalam arti bahasa juga
adalah تتبع ا لا ثر, artinya menelusuri jejak, pengertian tersebut digunakan
untuk arti hukuman, karena orang yang berhak atas qishash mengikuti dan
menelusuri jejak tindak pidana dari pelaku. Qhisash diartikan juga: ا
لمما ثلة, yaitu keseimbangan
dan kesepadanan.
Menurut istilah syara’, qhisash
ialah مجا ز ا ة ا لجا نى بمثل فعله yang artinya memberikan balasan padaku,
sesuai dengan perbuatannya.
Ibrahim Unais memberikan definisi
qhisash sebagai berikut:
القصا
ص هو ا ن يو قع على ا لجا نى مثل ما جنى Qhisash
adalah menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya.
Karena
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku adalah menghilangkan nyawa orang lain
(membunuh), maka hukuman yang setimpal adalah hukman mati.[2]
Qishash adalah hukuman pokok
bagi perbuatan pidana dengan objek (sasaran) jiwa atau anggota badan yang
dilakukan dengan sengaja, seperti membunuh, melukai, menghilangkan anggota
badan dengan sengaja.[3]
Rukun
qishash dalam kasus pembunuhan ada tiga yaitu:
- danya tindakan pembunuhan dengan sengaja.
- Korban pembunuhan.
- Pelaku pembunuhan.[4]
B. Syarat-syarat Qishash
Hukuman qishash tidak dapat
dilaksanakan apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi. Syarat-syaratnya ialah
sebagai berikut:
1) Pelaku pembunuhan harus mukallaf,
yaitu baligh dan berakal. Hukum qishash tidak dikenakan terhadap anak kecil,
orang gila, dan orang yang perkembangan akalnya terganggu (idiot), karena
mereka bukan orang-orang yang terkenai taklif syar’i, dan mereka tidak
mempunyai tujuan yang benar atau kenginan yang bebas, maka mereka tidak layak
dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Abu Daud .
عَنْ عَا ئِشَةَ رَ ضِيَ
ا للهُ عَنْهَا انّ رَ سُوْ لُ ا للهِ ص م قا ل: رَ فِعَ ا لْقَلَمُ عَنْ ثَلَا ثَةْ:
عَنِ ا لنَّا ئِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظِ وَ عَنِ الْمُبْتَلَى حَتَّى يَبْرَ أَ وَ
عَنِ الصَّبِي حَتىَّ يَكْبَرَ
Artinya:
Dari Aisyah ra,ia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw: “Dihapuskan ketentuan
hukum dari tiga hal: dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang
gila sampai ia sembuh, dari anak kecil hingga ia dewasa”[5]
Apabila ada orang gila
kumat-kumatan, kemudian ketika ia sedang dalam keadaan normal membunuh, maka ia
dikenai hukum qishash. Adapun orang yang mabuk karena minum-minuman keras, lalu
ia membunuh dan dilakukan dengan sengaja, menurut fuqaha madzhab yang empat
harus dilakukan dengan hukuman qishash.[6]
2) Korban harus orang yang ma’shum ad-dam,
artinya orang yang terbunuh (korban) adalah orang yang dijamin keselamatannya
oleh negara islam (orang yang terlindungi darahnya). Apabila yang dibunuh
(korban) kehilangan jaminan keselamatannya, misalnya ia murtad, pezina muhshon,
dan pemberontak maka pembunuh bebas dari hukuman qishash. Sebab korban adalah
orang yang tersia-sia darahnya.[7]
Imam bukhori muslim meriwayatkan
dari ibnu Mas’ud ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يَحِلُّ دَمُ امْرِئٍ مُسْلِمٍ,
اشهد ان لا اله الا الله و انى رسو ل الله الَّا بِاِحْدَى ثَلاَ ثٍ الثَّيِّبُ
الزَّانِي وَالنَّفْسُ بِالنَّفْسِ وَالتّارِكُ لِدِيْنِهِ الْمُفَارِقُ لِلْجَمَا
عَةِ (رواه البخارى ومسلم)
“Tidak halal darah muslim yang
telah bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku adalah Rasul Allah
kecuali karena tiga hal: duda yang berzina, pembunuh diluar hak, dan orang yang
murtad”.[8]
3) Pelaku dalam kondisi bebas memilih.
Syarat ini dikemukakan oleh kelompok
Hanafiyah, kecuali Imam Zufar. Kalangan madzhab Hanafiyah menetapkan bahwa
seandainya seseorang dipaksa membunuh atau merusak harta benda orang muslim,
sehingga ia terpaksa membunuh, maka ia berdosa karena telah membunuhnya dan
hukuman qishash jatuh pada tangan yang memerintahkan. Berbeda dengan pendapat
jumhur ulama terutama Imam Syafi’i bahwa orang yang diperintah tadi mendapatkan
hukum qishash bukan orang yang memerintah.[9]
4) Korban bukan bagian dari pelaku,
artinya keduanya tidak ada hubungan nasab, seperti halnya orang tua dan
anaknya. Dengan demikian, apabila seorang ayah atau ibu, kakek atau nenek,
membunuh anak atau cucunya tidak dapat dihukumi qishash, pendapat ini
dikemukakan oleh Jumhur Ulama. Akan tetapi menurut Imam malik ayah atau kakek
dapat dihukumi qishash apabila ia sengaja menidurkan anaknya lalu disembelihnya.
Dasar hukum dari pendapat jumhur ulama tersebut adalah hadits Nabi Saw, yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, dan Baihaqi dari Umar bin
Khattab, bahwa ia mendengar Rasulullah Saw bersabda:
لاَ يُقَا دُ الْوَا لِدُ بِا لْوَلِدِ
Berbeda dengan anak yang membunuh
salah satu orang tuanya, maka secara konsensus ia wajib dihukumi mati, sebab
orang tua adalah penyebab dari anaknya. Oleh karena itu anak tidak boleh
merenggut nyawa orang tuanya.
5) Pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja.
Yaitu dengan perbuatannya tersebut pelaku bermaksud untuk menghilangkan nyawa
korban. Apabila pelaku tidak berniat menghilangkan nyawa korban maka ia tidak
dihukumi qishash. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu
Syaibah dan Ishak ibn Rahuwaih didalam musnadnya Ibn Abbas ra, dengan lafadz
الْعَمْدُ قَوَ دُ اِلاَّ انْ يَعْفُوَ
وَ لِي المَقْتُوْلِ
“Pembunuh sengaja harus diqishash, kecuali apabila wali
korban memberi pengampunan”.
Dalam QS. An-Nisa’:93 juga dijelaskan:
و يقتل مؤ منا
متعمدا فجزاءه جهنم خا لد فيها, وغضب الله عليه ولعنه واعدّ لهُ عذا باً عضيمًا
“Barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka
balasannya adalah neraka jahannam, ia kekal didalamnya. Allah murka pada orang
itu, melaknatinya, dan menyediakan untuknya siksa yang berat”.[11]
Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur
ulama, dengan alasan hadits di atas.
6) Jumhur
ulama selain Hanafiyah mensyaratkan, hendaknya korban seimbang dengan pelaku.[12]
Kesamaan derajat ini terletak pada bidang agama dan kemerdekaan. Orang islam yang membunuh
orang kafir atau orang merdeka membunuh hamba sahaya tidak dijatuhkan hukum
qishas. Sebab dalam hal ini tidak ada kesamaan derajat antara pembunuh dan yang
dibunuh. Lain halnya jika orang kafir membunuh orang islam atau hamba sahaya
membnuh orang merdeka maka ia dihukumi qishash. Pendapat ini didasarkan pada
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ali ra, menyebutkan bahwa Rasulullah Saw
bersabda:
ان النبي ص م قضى ان لا يقتل مسلم بِكَافِرٍ
“Sesungguhnya Nabi Saw, telah memutuskan bahwa seorang muslim
tidak dihukumi qishash karena membunuh orang kafir”.[13]
Selain hadits di atas, jumhur ulama
juga beralasan deng hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi dari
Ibnu Abbas bahwa Rasulullah bersabda:
لاَ يُقْتَلْ حُرّ بِعَبْدِ هِ
“Seorang yang merdeka tidak dihukumi Qishash karena membunuh
hambanya”.[14]
Selain
penjelasan di atas dasar hukum Qishash
terdiri dari beberpa firman Allah dan hadits Nabi, yaitu;
Firman
Allah SWT, Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178-179, sebagai berikut:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى, الْحُرُّ
بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنْثَى بِالْأُنْثَى, فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ, فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ
ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (178) وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي
الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (179)
Artinya: “Wahai orang orang yang beriman diwajibkan atas kamu
melakukan qishash berkenaan orang yang dibunuh, orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi
barang siapa yang mendapatkan maaf dari keluarganya (saudaranya), hendaklah ia
mengikuti dengan baik dan membayar diyat (tebusan) kepadanya dengan baik pula.
Yang demikian itu keringat dan rahmat dari Tuhan_Mu. Barang siapa yang
melampaui batas setelah itu akan mendapatkan azab yang sangat pedih”.(178)
“Dan didalam qishash itu ada jaminan kehidupan bagimu, wahai orang-orang
yang berakal, agar kamu bertaqwa”(179).[15]
Dalam
surat Al-Isra’, ayat 33, yaitu:
و لا تقتلو االنفس التى حرم الله الا
بالحق, ومن قتل مظلوما فقد جعلنا لوليه سلطا نا فلا يسرف فى القتل....
Artinya:
“janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah, kecuali karena hak,
barang siapa yang dibunuh secara aniyaya, maka Allah menjadikan kekuasaan bagi
walinya. Oleh karena itu, janganlah kamu berlebih-lebihan dalam pembunuhan”.
(Al-Isra’:33)
Dalam
Q.S. Al-Maidah: 45
و كتبنا عليهم فيها ان النفس بالنفس
والعين بالعين و الانف بالانف والاذ ن بالا ذ ن والسن بالسن والجروح قصا ص
Artinya:
“kami telah mewajibkan atas mereka bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata
dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi,
dan bahwa dibalas dengan qishash”.
Dalam
hadits dikatakan, yaitu:
من اعتبط مؤ منا بقتل فهو قوا د الا
ان ير ضى ولى المقتول.
Artinya:
“Barang siapa membunuh orang mukmuin, baka baginya hukum qishash, kecuali
apabila wali meridhoi”.
من قتل له قتيل فا هله بين خير تين
ان احبوا القواد اى القصاص وان احبوا فالعقل اى اد ية
Artinya:
“Apabila seseorang dibunuh, walinya mempunyai dua pilihan, apabila dia mau
dengan hukum qishash, maka dia dapat diambil hukum qishash, dan apabila ia
tidak mau, dia dapat mengambil diyat”[16]
C.
Macam-Macam
Kejahatan yang Mengakibatkan Hukum Qishash
- Pembunuhan dengan benda tajam
- Melemparkan korban ketempat berbahaya
a.
Melemparkan
korban dari tempat yang tinggi
b.
Melempar
ketempat binatang buas
c.
Melempar korban
kedalam air atau api
4. Pembunuhan
dengan media sihir
5. Pembunuhan
dengan memberi racun
6. Pembunuhan
dengan melukai korban
7. Menyekap
korban disuatu tempat
8. Pemaksaan
untuk membunuh.[17]
D.
Hal-hal
yang menggugurkan hukum qishash
Hukuman qishash dapat gugur karena
adanya sebab, antara lain sebagai berikut:
a. Hilangnya
objek qishash
Objek qishash adalah tindak pidana
pembunuhan adalah jiwa (nyawa) pelaku (pembunuh). Apabila objek qishash tidak
ada, karena pelaku meninggal dunia dengan sendirinya hukuman qishash menjadi
gugur. Dalam hal ini apakah setelah meninggalnya pelaku, ia masih dibebani
kewajiban membayar diyat?
Menurut Hanafiyah dan Malikiyah,
sebagai mana dikutib dari bukunya wahbah Zuhaili, apabila qishash gugur karena
pelaku meninggal dunia, ia tidak diwajibkan untuk membayar diyat, alasannya
adalah karena qishash merupakan fardu ain. Apabila pelaku meninggal kewajiban
pelaku menjadi gugur, dan wali (keluarga) korban tidak berhak untuk mengambil
diyat keculi dengan persetujuan pelaku.
Menurut Hanabilah, apabila qishash
gugur karena meninggalny pelaku, wali masih bisa memilih diyat. Alasannya kewajiban yang
dibebankan karena pembunuhan sengaaja adalah salah satu dari dua perkara, yaitu
qishash dan diyat. Apabila wali (korban) memilih diyat maka diyat tersebut
wajib dibayar meskipun pelaku tidak menyetujuinya. Menurut Imam Syafi’i,
walaupun pendapat yang rajih mengakui qishash sebagai fardu ain, sebagiman
pendapat Hanafiyah dan Malikiyah, namun Imam Syafi’i berpendapat bahwa diyat
merupakan pengganti qishash, apabila hukum qishash itu gugur karena pengampunan
atau sebab lain, sperti meeninggalnya pelaku. Dengan demikian, korban atau
keluarganya tetap berhak mengambil diyat, tanpa menunggu persetujuan pelaku.
b. Pengampunan
Penganmpunan
terhadap qishash dibolehkan menurut kesepakatan para fuqaha, bahkan lebih utama
dari pelaksnaannya. Hal ini didasarkan kepada fiman Allah dalam surat
Al-Baqarah: 178, yaitu:
فَمَنْ عُفِيَ
لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ
بِإِحْسَانٍ
Dalam surat Al-Maidah: 45, tentang pelukaan disebutkan:
فَمَنْ تَصَدَّقَ
بِهِ فَهُوَ كَفَّا رَةٌ لَهُ
“Barang siapa yang melepaskan hak
qishashnya, maka melepaskan itu menjadi penebus dosa baginya”
c.
Shulh (perdamaian)
Shulh dalam arti bahasa adalah قطع المنا ز عة yang artinya memutuskan atau perselisihani, dalam
istilah syara’ seperti yang dikemukakan oleh syyid sabiq shulh adalah:
عقد
ينهى الخصو مة بين المتخا صمين suatu akad perjanjian yang menyelesaikan
persengketaan antara dua orang yang bersengketa.
Apabila pengetian tersebut dikaitkan
dengan qishash, shulh berarti perjanjian atau perdamaian antara pihak wali
korban dengan pihak pembunuh untuk membebaskan hukuman qishash dengan imbalan.
Para
ulama telah sepakat dengan tentang dibolehkannya shulh, sehingga dengan
demikian qishash menjadi gugur. Shulh (perdamaian) dalam qishash ini boleh
meminta imbalan yang lebih besar dari pada diyat, sama dengan diyat, atau lebih
kecil dari pada diyat. Boleh juga dengan cara tunai atau angsuran, dengan jenis
diyat atau selain diyat, dengan syarat disetujui (diterima) oleh pelaku.
d. Diwariskannya
hak qishash
Hukuma
qishash dapat gugur apabila wali korban menjadi pewaris hak qishash. Contohnya,
seperti orang yang divonis qishash, kemudian pelaku meninggal, dan pembunuh
mewarisi qishash tersebut, baik seluruhnya maupun sebagian.[18]
Hikmah
qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang
mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh
orang, tentu ia takut membunuh orang lain. Dengan demikian terpeliharalah jiwa
dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.
E. Pengertian Diyat
Diyat sebagimana dikemukakan oleh
Sayyid Sabiq adalah, sebagai berikut;
الدِّيَةُ هِيَ الْمَالُ الَّذِى يَجِبُ
بِسَبَبٍ الْجِناَ يَةِ, وَ تُؤَدَّى اِلَى الْمَجْنِيِّ عَلَيْهِ اَوْ وَ لِيِّهِ
“Diyat adalah sejumlah harta yang dibebankan kepada pelaku,
karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiyaan) dan diberikan
kepada korban atau walinya”.
Diyat
adalah harta benda benda yang wajib ditunaikan karena tindakan kejahatan yang
diberikan kepada korban kejahatan atau kepada walinya.
Dari
definisi di atas jelas bahwa diyat merupakan hukuman yang brersifat harta, yang
diserahkan pada korban apabila ia masih hidup, atau diserahkan pada wali
(keluarganya) apabila ia telah meninggal, bukan diberikan pada pemerintah.
Dasar
hukum diyat dijelaskan dalam Q.S. An-Nisa’:92, yaitu:
وَمَاكَانَ
لِمُؤْ مِنٍ اَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا الاَّ خَطَئًا, وَمَنْ قَتَلَ مُؤْ مِنًا خَطَئًا
فَتَحْرِيْرَ رَقَبَةٍ مُؤْ مِنَةٍ وَ دِ يَةٌ مُّسَلَّمَةٌ اِلَى اَهْلِهِ اِلَّا
اَنْ يَّصَّدَّ قُوْا....
Artinya: “Dan tidak
layak bagi seorang mukmin, membunuh mukmin lainnya, kecuali karena slah (tdak
sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah, hendaklah
mereka memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang
diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)
bersedekah........”
F. Kadar Diyat
Para ulama berbeda pendapat dalam
menentukan jenis diyat. Menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’i
dalam Qaul Qadim, diyat dapat dibayar dengan salah satu dari tiga jenis, yaitu
unta, emas, atau perak. Alasannya adalah, sebagai berikut:
1)
Hadits yang
driwayatkan oleh Amr bin Hazm dari kakeknya, bahwa Rasulullah Saw. Menulis
surat kepada penduduk Yaman. Di antara suratnya, ialah, yang artinya:
“sesungguhnya barang
siapa yang membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang sah dan ada saksi, ia
harus di qishash kecuali apabila keluarga korban merelakan (memaafkan), dan
sesungguhnya dalam menghilangkan nyawa harus membayar diyat, berupa seratus
ekor unta”.
2)
Dalam lanjutan
hadits Amr Ibn Hazm tersebut di atas yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i
Rasulullah, menyatakan:
.....وَعَلَى
اَ هْلِ الذَّ هَبِ اَلْفُ دِيْنَا رٍ. . . . .
“Dan untuk keluarga
yang mempunyai emas, diyatnya adalah seribu dinar”
3) Pendapat
Sayidina Umar dalam hadits (atsar) yang diriwayatkan oleh Baihaqi melalui Imam
Syafi’i. Sayidina Umar menetapkan untuk pendudukyang memiliki emas, diyatnya
adalah seribu dinar, dan untuk perak diyatnya adalah sepulu ribu dirham.
Menurut Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad
ibn Hasan, dan Imam Ahmad ibn Hanbal, jenis diyat itu ada enam macam, yaitu:
Unta, emas, perak, sapi, kambing atau pakaian.[19]
G. Macam-Macam Diyat
Macam-macam diyat Ada dua, yaitu:
a. Diyat
Mughalladhah, berlaku pada pembunuhan secara sengaja. Bilamana para wali korban
memberi maaf, Imam Syafi’i dan Hanbali berpendapat bahwa dalam kondisi demikian
diyatnya wajib diberatkan. Jumlah diyatnya yang berat adalah sebanyak seratus
ekor, empat puluh ekor di antara sedang mengandung tua.[20]
b. Diyat
Mukhaffafah adalah diyat yang diperinganan. Keringanan tersebut dapat dilihat
dalam tiga aspek:
Ø
Kewajiban
pembayaraan dibebankan kepada ‘aqilah (keluarga).
Ø
Pembayaran diyat
dapat di angsur selama tiga tahun
Ø
Kadar diyat
dibagi dalam lima kelompok:
·
20 ekor unta
betina umur 1-2 tahun
·
20 ekor unta
jantan umur 1-2 tahun
·
20 ekor unta
betina umur 2-3 tahun
·
20 ekor unta
umur 3-4 tahun
·
20 ekor unta
umur 4-5 tahun.[21]
Adapun Hikmah Diyat, antara lain :
1.
Dapat mencegah kejahatan terhadap jiwa raga manusia.
2.
Diyat menjadi obat duka lara korban
ataupun keluarga korban, sekaligus menghilangkan dendam antara korban atau keluarga korban dengan pelaku kejahatan.
3.
Timbulnya ketenangan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat.
4.
Memberi kesempatan pembunuh untuk bertobat dan lebih berhati-hati dalam
melakukan suatu perbuatan.
5.
Mendidik jiwa pemaaf, baik bagi keluarga korban maupun pelaksana diyat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut istilah syara’, qhisash
ialah مجا ز ا ة ا لجا نى بمثل فعله yang artinya memberikan balasan padaku,
sesuai dengan perbuatannya.
Ibrahim
Unais juga memberikan definisi qhisash sebagai berikut: القصا ص هو ا ن يو قع على ا لجا نى مثل ما جنى Qhisash
adalah menjatuhkan hukuman kepada pelaku persis seperti apa yang dilakukannya.
Hukuman
qishash dapat dilaksanakan apabila syarat-syaratnya terpenuhi, yaitu;1
- Pelaku pembunuhan harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal
- Korban harus orang yang yang dilindungi keselamatannya
- Pelaku dalam kondisi bebas memilih
- Korban bukan bagian dari pelaku
- Pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja
- Jumhur ulama selain Hanafiyah mensyaratkan, hendaknya korban seimbang dengan pelaku.
Hal-hal
yang dapat mengggurkan hukum qishash, karena:
Ø Hilangnya
objek qishash.
Ø Pengampunan
Ø Perdamaian
Firman Allah dalam QS. An-Nisa’: 92,
yang artinya sebagai berikut:
“Dan tidak layak bagi
seorang mukmin, membunuh mukmin lainnya, kecuali karena slah (tdak sengaja),
dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena salah, hendaklah mereka
memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya, kecuali jika mereka (keluarga terbunuh)bersedekah”.
Diyat adalah sejumlah harta yang
dibebankan kepada pelaku, karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau
penganiyaan) dan diberikan kepada korban atau walinya
Macam-macam
diyat ada dua, yaitu:
1. Diyat
mughalladhah
2. Diyat
mutaghassithoh
[1] . Prof. Wahbah Zuhaili, AL-Fiqhu
Asy-Syafi’I Al-Muyassar, (Jakarta Timur: Almahira, 2008 ), Hlm: 155
[2] . Drs. H. Ahmad Wardi
Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), 148-149
[3] . Drs. H. Rahmat Hakim,
M.Ag, Hukum Pidana Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2010), 125
[4] . Wahbah Zuhaili, AL-Fiqhu
Asy-Syafi’I, Hlm:155
[5] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm:152
[6] . Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah (Jilid 3), (Jakarta: Daarul Fath, 2006), Hlm: 421
[7] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm:153
[8] . Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah (Jilid 3), Hlm: 421
[9] . Ibid, Hlm:422-423
[10] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 153
[11] . Al-Imam Taqiyuddin Abu
Bakar Al Husaini, Kifayatul Akhyar
jilid 3, (Surabya: Bina Ilmu, 1997),Hlm: 4
[12] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 154
[13] . Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah (Jilid 3), Hlm: 424-425
[14] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 154
[15] . Syamil Al-Qur’an Al
-Karim, Terjemah Perkata-kata (Type Hijaz), Al-Baqarah 2: Hlm: 27
[16] . Rahmat Hakim, Hukum
Pidana, Hlm: 128-129
[17] . Wahbah Zuhaili, AL-Fiqhu
Asy-Syafi’I, Hlm: 158-166
[18] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 160-164
[19] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 167-168
[20] . Sayyid Sabiq, Fiqih
Sunnah (Jilid 3), Hlm: 454
[21] . Wandi Muslich, Hukum
Pidana, Hlm: 171
Tidak ada komentar:
Posting Komentar