BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa arab merupakan komunitas dari berbagai
suku yang secara sporadic tersebar disepanjang
jazirah Arabian. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang
tipikal dan berbeda dengan suku-suku
lainnya. Disisi lain perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya
membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan
al-qur’an.
Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri dengan
melihat gejala beragam dialek yang
sebenarnya bersifat dialek (natural) artinya fenomena yang tidak dapat
dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah SAW, sendiri membenarkan pelafalan
Al-qur’an dengan berbagai macam qira’at.
B. Rumusan Masalah
a. Definisi Qira’at
b. Macam-Macam Qira’at
c. Perbedaan Qira’at
C. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui definisi
qira’at.
b. Untuk mengetahui
macam-macam qira’at.
c. Untuk mengetahui perbedaan
qira’at.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Qira’at
Secara etimologi, term qira’at seakar dengan term al-qur’an, yaitu akar
kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Term qira’ah merupakan
bentuk masdar (verbal noun) dari kata
qara;a, yaitu artinya bacaan.[1]
Sedangkan secara termenologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi
yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’at ini
ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode
qurra’(ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada
orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa
para sahabat. Maka ada beberapa definisi
yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:
1. Menurut Az-Zarkasyi:
إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.
Artinya:
“Qira’at adalah perbedaan perbedaan
(cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau
cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil
(memberatkan),dan atau yang lainnya.[2]
2. Menurut As-Shabuni:
مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.
Artinya:
“Qira’at adalah
suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung
kepada rasul.[3]
3. Menurut Al-Qasthalani:
“Suatu
ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang
menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya
diperoleh secara periwayatan.[4]
Dari definisi di atas, tampak bahwa qira’at
al-qur’an itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari
al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah
qira’at yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara
yang dimaksud dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang
menyatak bahwa qira’at itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan
madzhab atau imam qira’at tertentu, selaku pakar qira’at yang bersangkutan,dan
atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan
dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan
suatu qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada
orang-orang sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.[5]
1. القرأت
:Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam
tertentu seperti, qira’at Nafi.
2. الرواية
:Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang
perawi qira’at dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3. الطريق:Suatu
istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi
qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4. الوجه
:Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang
pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui
pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan
ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi
sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh
melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.
B. Macam-Macam Qira’at
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada beberapa macam, ada
yang mutawatir,ahad dan syaz. Menurut mereka, qira’at mutawatir ialah qira’at
yang tujuh, Sedangkan qira’at ahad ialah tiga qira’at yang menggenapkannya
menjadi sepuluh qira’at para sahabat. Dan selain itu adalah qira’at syaz,dan
ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qira’at yang sepuluh dinamakan
qira’at mutawatir karna yang menjadi pegangan
dalam hal ini baik dalam qira’at yang termasuk qira’at tujuh,qira’at
sepuluh maaupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang shahih.
Menurut sebagian ulama, dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah
sebagai berikut:
a. Qira’at tersebut harus
sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik segi itu fasih
maupun lebih fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti diterima apa
adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,bukan ra’yu
(penalaran).
b. Qira’at sesuai dengan
salah satu mushaf usmani,meskipun hanya sekedar mendekati saja.
Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf itu
para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan
mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
c. Qira’at itu harus shahih
sanadnya sebab qira’at merupakan sunnah
yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan
riwayat.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang
sahih. Apabila ke tiga syarat ini telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah
qira’at sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka
qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,syaz atau batil.
Yang mengherankan sebagian para ulama ialah bahwa sebagian ahli nahwu
masih juga menyalahkan qira’ah sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut
hanya semata-mata qira’at tersebut bertentangan dengaan kaidah-kaidah ilmu
nahwu yang mereka jadikan tolak ukur
bagi kesahihan bahasa.Seharusnya qira’at yang sahih itu dijadika sebagai
hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan,bukan sebaiknya
kaidah ini dijadikan pedoman bagi al-qur’an. Hal ini karna al-qur’an adalah
sumber pertama dan pokok pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur’an
sendiri didasarkan pada kesahihan penukilandan riwayat yang menjadi landasan
pada qari’, bagaimana pun juga adanya, Ibnu Jaziri ketika memberikan komentar
terhadap syarat pertama qira’at yang sahih ini menegaskan,” kata-kata dalam
kaidah diatas meskipun dalam satu segi, yang kami maksudkan satu segi adalah
satu segi dari ilmu nahwu. Baik segi itu fasih maupun lebih fasih,disepakati
maupun diperselisihkan.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun
huruf-huruf al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam dunia kebasaan
dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap
(tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan
popularitas bahasa tidak menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah
sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber
acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “ Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah yaitu sunnah yang harus diikuti.”[6]
Maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam
hal qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak
boleh menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa
arab.”
Nawawi dalam syarah al-muhazzab berkata, “ Qira’at yang syaz tidak boleh
dibaca baik didalam maupun diluar shalat,karna ia bukan al-qur’an. Qur’an hanya
ditetapkan dengan sanad yang mutawatir , sedang qira’at yang syaz tidak
mutawatir. Seandainya seorang menyalahi
pendapat ini dan membaca qira’at yang syaz, maka ia harus di ingkari bacaannya
baik bacaan itu di dalam maupun diluar shalat. Para fuqaha’ Baghdad sepakat
bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira’at yang syaz harus disuruh
bertaubat. Bahkan Ibn’ Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa qur’an
tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syaz dan juga tidak sah shalat
dibelakang orang yang membaca qur’an dengan qira’at syaz itu.”
C. Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan
perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat
terjadi pertama, pada tulisan itu sendiri, seperti: 1) perbedaan i’rab, 2)
perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il, 3) perbedaan huruf-huruf pada
kata, 4) perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan, 5) perbedaan dalam
mendahulukan dan mengakhirkan, 6) perbedaan dalam penambahan dan pengurangan.
Kedua, perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti: 1) perbedaan pengucapan
huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan
lain-lain, 2) perbedaan tempat waqaf
Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada
perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd
al-Rahman al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa
perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada tafsir –bukan hanya makna– dan ada
yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir yaitu
perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah,
dsb. Sedangkan yang berpengaruh pada tafsir terbagi dua, yaitu:
1.Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ - مََلَكَ
2. Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ
– يَصُدَّوْنَ dan يََطَّهَّرْنَ - يَطْهُرْنَ
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Ibrahim
Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah qira’at
al-Qur’an, yaitu: pertama, yang berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau
bahasanya. Kedua, yang berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan
kosong tanpa titik dan tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj
menyuruh kepada dua orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi
titik dan harakat, lalu keduanya melaksanakannya. Ketiga, yaitu sesuatu yang
berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau mendahulukan
kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim,
dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat
oleh kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti
yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan ini dapat
terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda baca (syakal
) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.
Masalah kedua terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan
(mushhaf) al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam
prosesstandarisasi rasm al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al
Qur’an masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung
disusun Nabimelalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui petunjuk
Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam
shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia
Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul masalah, karena tidak
semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda huruf dan tanda baca.
Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan
Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang
menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat
terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis, penentuan i’rab
banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau menurut riwayat
bacaan yang sampai.
Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran
periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai
kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada
masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan
diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh
periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf Utsmani,
tetap diakui keabsahannya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sebagaimana lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang sama pun
dapat ditafsirkan secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat al-Qur’an dalam
qira’at yang berbeda. Hanya saja pada segi-segi tertentu perbedaan qira’at
tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap penafsiran. Sebagai kesimpulan akhir
baik diulas kembali di sini bahwa perbedaan qira’at pada al-Qur’an adakalanya
menyebabkan terjadinya perbedaan makna dan adakalanya tidak. Perbedaan makna
pada qira’at itu akan berpengaruh terhadap penafsiran. Sebaliknya, tidak adanya
perbedaan makna tidak akan berpengaruh pada penafsiran.
B. Saran-Saran
Bila qira’at merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga
bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita
lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari
nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun
mengharapkan pada para pembaca untuk
senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca,
karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan,
membaca juga merupakan terapi atas
keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun
itu, karena membaca adalah pengiring pertma menuju ridho-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Zainal, Drs, seluk-beluk al-qur’an, Jakarta: Rineka cipt,92.
Ismail,Sya’ban Muhammad, Dr., Mengenal qira’at al-qur’an,semarang: Bina
Utama,1993.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Semarang Rasial Media
group 2008.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-qur’an,
Bulan-Bintang,Jakarta,1972,hlm,145.
Anwar, Rosihon, prof, Dr, Ulum Al-Qur’an, cv Pustaka setia 2010.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi’ulum al-qur’an. Bogor: Pustaka
Litera Antar Nusa, 2012.
izin copas boleh ?
BalasHapus:)
untuk tambahan tugas..
syukron :)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
HapusMaksudnya??
Hapusboleh bak
BalasHapus