BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kata fiqh jika kita tinjau dari dimensi definisi bahasa
yaitu “ paham yang mendalam” semua kata
“faqaha “ yang terdapat dalam al- qur’an mengandung arti ini, namun yang
dimaksud paham yang mendalam disini secara hakikat adalah paham tentang
persoalan yang berkaitan dengan hukum syara’,
telah kita ketahui dalam arti yang menjadi objek dari fiqh adalah
persoalan amaliyah dan furu’iyah yang didasarkan kepada dalil yang tertafsili,
dan dalil ini digali dan ditemukan melalui penalaran dan istidlal yaitu
bagaiman menggunakan sebuah dalil,
Melalui wacana
diatas tentang sekilas seputar fiqh mungkin dapat membantu kita untuk dijadikan
intropeksi diri tentang persoalan fiqh, yaitu sampai dimana kedalaman kita
mengetahui tentang persoalan hukum dalam syara’, secara tidak sadar tidak
banyak orang yang mengabaikan persoalan ini bahkan tidak memiliki pemahaman
yang baik seperti persoalan kecil, seperti wudhu’
Tidak banyak kita
jumpai tentang keterpurukan ini, baik waktu sholat dan lain hal yang berkaitan
dengan hukum kita temukan, sekarang telah banyak orang yang mencendrungkan
dirinya dalam persoalan dunia yang gampang dan mudah tanpa dasar hukum yang
benar, bahkan cuma ada yang mengamalkan separuh, hal ini cukup memprihatinkan
sekali bila kita renungkan, maka penulis merasa cukup penting untuk mengangkat
persoalan fiqh dalam bentuk makalah sebagi penyokong kesadaran tentang
pentingnya pemahaman yang mendalam seperti yang penulis singgung diatas,
Tidak hanya itu yang
perlu kita pahami tetapi juga harus kita ketahui apakah fiqh dan ushul fiqh
dapat dikaji secara ilmiah yang sesuai kaidah yang telah ada dalam scientific
method itu sendiri, maka point ini
mencoba, penulis menyingkap persoalan ini secar ilmiah yang bertujuan bahwa
islam juga peduli terhadap perkembangan peradaban keilmuan yang secara
flexibility hal ini juga merupakan ilmu
yang patut kita tuntut berdasarkan kesadaran.
B.
Rumusan Masalah
Sebagai sketsa pembahasan pada
makalah ini penulis perlu merumuskan hal-hal yang berkaitan dengan fiqh dan
ushul fiqh sebagai kajian ilmiah yaitu sebagai berikut ;
1.
Apa
pengertian fiqh dan ushul fiqh ?
2.
Bagaimana
sejarah singkat tentang ushul fiqh ?
3.
Apakah
fiqh dan ushul fiqh disiplin ilmu ?
C.
Tujuan Penulisan
- Untuk mengetahui tentang fiqh dan ushul fiqh
- Untuk mengetahui sejarah timbulnya ushul fiqh
- Untuk mengetahui fiqh dan ushul fiqh sebagai kajian yang ilmiah
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Fiqh dan Ushul
Fiqh
Pada
point ini penulis akan membahas dua pengertian yaitu fiqh dan Ushul
fiqh, untuk pertama penulis akan menjelaskan tentang fiqh terlebih dahulu. Pengetahuan
tentang fiqh begitu signifikan bagi kehidupan umat. Hal ini terjadi karena
fiqih merupakan piranti pokok yang mengatur secara mendetail perilaku kehidupan
umat selama dua puluh empat jam setiap harinya. Oleh karena itu dapatlah
dikatakan bahwa fiqh adalah islam kecil sedang isl;am itu sendiri sebagai fiqh
besar dalam konteks bahwa islam sebagai the way of life para pemeliknya.
Secara
etimologi fiqh berarti pemahaman yang mendalam dan membutuhkan pengarang
potensi akal.[1]
Pengertian tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur’an , yakni dalam surat Thaha (20) : 27-28, An- Nisa’ (4) :78, Hud
(11) : 91. Dan terdapat pula dalam hadits, seperti sabda Rasulullah SAW: yang
Artinya:
“ Apabila Allah menginginkan kebaikan bagi
seseorang, dia akan memberikn pemahaman agama yang mendalam kepadanya.
(H.R
Al-Bukhori, Muslim, Ahmad Ibnu Hambal, Tirmidzi, dan ibnu Majah).
Adapun
secara termenologi fiqh yaitu mengetahui hokum-hukum syara’ yang bersifat
amaliah yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.
Mengenai
hakikat fiqh terperinci sebagai berikut:
1.
Fiqh
adalah ilmu yang menerangkan hokum syara’ dari setiap pekerjaan mukallaf, baik
yang wajib, haram, makruh ,mubah dan sunnah.
2.
Objek
kajiannya adalah hal-hal yang bersifat amaliah.
3.
Pengetahuan
hukum syari’ah itu didasarkan kepada dalil tafsili,(terperinci)
4.
Fiqh
itu digali dan ditemukan melalui penalaran (nazhar) dan ta’ammul yang
diistinbatkan dari ijtihad.
5.
Merupakan
seperangkat cara kerja sebagai bentuk praktis dan cara berfikir taksonomis dan
logis untuk memahami al-qur’an dan hadits.[2]
Rasyid Ridha (1979: 23) ”
mengertikan fiqh sebagaimana yang terdapat dalam al-Qur’an sebagai paham yang
mendalam tentang hakikat-hakikat, dengannya seseorang yang memiliki pengetahuan
akan menjadi bijaksana, mengamalkan dan berpendirian.
Pengertian fiqh tampak lebih luas dari sekedar paham. Ia berarti
memahami kehendak pembicara sebagaimana yang diucapkannya, yakni paham dan
mengerti kehendak Allah. Namun karena akal manusia tidak sama, maka memahami
kemampuan dan kehendak wahyu allah pun berbeda satu sama lain. Sebagaimana
halnya suatu ilmu memiliki tingkat kebenaran yang relative (dzanny). Dari sisi
ini para sebagian ulama mengatakan bahwa perubahan dan perbedaan fatwa hokum
dapat terjadi karena perubhan dan perbedaan waktu, ruang kondisi, niat dan
manfaat. Dari sisi ini pula dapat dipahami dipahami bahwa berlakunya fiqh dalam
pengeetian ijtihad sangat local.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa “fiqhu”
atau paham tidak sama dengan “ilmu” walaupun wazan (timbangan) lafadnya adalah
sama. Meskipun belum menjadi ilmu, paham adalah pikiran yang baik dari
kesiapannya menangkap apa yang dituntut. Ilmu bukanlah dalam bentuk zdanni
seperti faham atau fiqh yang merupakan ilmu tentang hukum yang dzanni dalam
dirimya.
Dari point ini bisa dipahami bahwa pada awal perkembangan islam,
kata fiqh belum bermakana spesifik sebagai ilmu hukum islam yang mengatur pelaksanaan ibadah-ibadah
ritual, yang menguraikan tentang detail perilaku Muslim dan kaitannya dengan
lima prinsip pokok (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah), serta yang membahas
hokum-hukum muamalat. Hal ini bisa dimaklimi mengingat pada waktu itu para
sahabat nabi tidak atau belum membutuhkan suatu piranti ilmu tertentu untuk
mengatur kehidupan masyarakat.mereka tinggal melihat dan mencontoh perilaku
sehari-hari kehidupan Nabi, sebab pada beliaulah terletak wujud paling ideal
Islam.
Hal
kedua adalah penulis akan menjelaskan pengertian Ushul fiqh. Ushul fiqh secara
Etimologis, Ushul fiqh terdiri dari dua kata yaitu Ushul dan al-fiqh. Yang berasal dari
bahasa arab dan masing-masing kata itu mempunyai arti tersendiri.
Kata
ushul merupakan bentuk jamak(plural) daari kata al-Ashlu yang berarti dasar
atau landasan tempat membangun sesuatu. Juga bisa berarti sesuatu yang
mempunyai cabang[3]. Sedangkan al-ashlu secara termenologis
mengandung pengertian yang bermacam-macam, yaitu: berarti dalil, kaidah umum,
pendapat yang lebih unggul atau bermakna asal yang digunakan untuk
menganalogikan sesuatu serta bisa
berarti keadaan sesuatu yang diyakini manakala terjadi keraguan.[4]
Adapun
al-fiqh (fiqh) secara bahasa yaitu adalah sebuah pemahaman. Sedangkan secara
istilah mempunyai arti tentang pengetahuan hokum syara’ yang berhubungan dengan
perbuatan manusia yang diambil dari satu per satu dalil.
Sedangkan
Ushul Fiqh secara terrmenologis, yaitu bertitik tolak dari konsep disiplin
ilmu, Ushul fiqh dipandang sebagai satu kesatuan, tidak melihat kepada
pengertian satu per satu kata yang
membentuknya. Menurut Abu Zahrah, “ ushul Fiqh adalah suatu ilmu tentang kaidah-kaidah metodologis yang
digunakan untuk mengistimbatkan (menarik) hukum dari dalil-dalilnya satu per
satu.[5]
Penjelasan
diatas memberikan ilustrasi bahwa yang menjadi objek bahasan Ushul fiqh adalah
sifat-sifat esensial dari berbagai macam dalil dalam kaitannya dengan penetapan
suatu hokum atau dengan kata lain bagaimana cara dalil itu menunjukkan suatu
hokum dan sebaliknya bagaimana suatu hokum ditetapkan berdasarkan dalil-dalil
itu.
Dari
definisi diatas penulis menggambarkan bahwa Ushul Fiqh merupakan ilmu yang
mengkaji dalil-dalil hukum yang bersifat tekstual untuk diambil substansinya
dan kemudian di aplikasikan pada permasalahan kontekstual.
B. Sejarah Singkat Tentang Ushul Fiqh
Pada
zaman nabi SAW semua persoalan yang dihadapi masyarakat kala itu, selalu
dikonsultasikan pada baginda Rasulullah SAW guna mencari solusinya, kemudian
dia memutuskan suatu hukum dengan
menunggu turunnya wahyu dan jika wahyu tidak datang maka beliau memutuskan hukum
berdasarkan pendapatnya yang dikenal sebagai hadits. permasalahan hukum masih
berada dibawah bimbingan allah SWT, yakni
lewat rosulullah SAW dalam memberikan arahan umatnya, maupun menyelesaikan
masalah ataupun pemecahan masalah yang telah dihadapi umat pada masanya. Dalam
memberikan bimbingan ini Allah mengutus malaikat jibril, terkadang malaikat
jibril datang membawa wahyu tanpa didahului oleh adanya masalah atau sebab
khusus,tetapi terkadang juga wahyu yang dibawa oleh malaikat jibril tersebut
kadang kala didahului masalah.
Memasuki masa Sahabat, persoalan-persoalan
hukum semakin kompleks setelah semakin luasnya daerah kekuasaan islam dan
terjadinya akulturasi antara masyarakat Arab. Oleh karenanya, fiqh sebagai
produk ijtihad mulai dari munculnya para sahabat. Meskipun secara historis fiqh
lebih dulu dikenal dan dibukukan
dibandingkan Ushul fiqh, dalam praktiknya sebenarnya kedua ilmu tersebut muncul
secara bersamaan. Fiqh tidak mungkin terwujud tanpa melalui metode istinbat,
dan metode istimbat itulah sebagai inti dari ushul fiqh.
Setelah meluasnya futuhat islamiyah
masyarakat arab banyak berinteraksi dengan bangsa-bangsa lain yang berbeda
bahasa dan latar belakang peradabanya, hal ini menyebabkan melemahnya kemampuan
berbahsa arab dikalangan sebagian umat. Disisi lain kebutuhan akan ijtihad
begitu mendesak, karena banyaknya masalah-masalah baru yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan
kejelasan hukum fiqihnya.
Pada masa tabi’in metode istimbat semakin
jelas dan meluas dimana para tabi’in mulai terpencar dibeberapa daerah islam
serta melakukan ijtihad dalam rangka merespon berbagai persoalan baru yang
dihadapinya sesuai dengan lingkungan dimana mereka berada.
Era selanjutnya adalah zaman para imam
mujtahid, dimana metode ijtihad menjadi sangat jelas disetiap pengambilan
hokum. Imam Abu Hanifah (w. 150 H),
pendiri madzhab Hanafi, menjelaskan dasr hirarki dasar istinbatnya dengan
berpedoman pada kitabullah, sunnah rasululloh dan fatwa yang disepakati oleh
para sahabat (fatawa al-shahabah). Imam Hanafi juga terkenal sering melakukan
qiyas dan istihsan dalam ijtihadnya. Dia
tidak berpedoman kepada tabi’in karna dia sejajar dengan mereka. Sedngkan
pendiri madzhab Maliki, Imam Malik (w. 178 H ), sisamping berpegang pada kitabullah dan sunnah
Rasulullah, mendasarkan ijtihadnya kepada praktik penduduk Madinah. Dalam
melakukan ijtihad , Imam Malik dikenal banyak melakukannya dengan pendekatan
maslahah.
Perbedaan penggunaan pendekatan itu
menghasilkan pendapat serta hukum yang
saling berbeda tanpa didasarkan kepada
suatu teori istimbat, yang kemudian menimbulkan kekhawatiran dikalangan para
uama’. Akhirnya timbullah fikiran untuk membuat aturan standar dalam melakukan
ijtihad, suatu aturan yang menjelaskan metode istimbat hukum baik secara naqli
maupun aqli.
C.
Fiqh dan Ushul fiqh sebagai disiplin ilmu
Pada point ini bisa dikatakan fase uji
coba terhadap keilmiahan ilmu fiqh dan ilmu ushul fiqh, yang mana pada point
ini penulis mencoba merasionalkan konsep-konsep yang berkaitan dengan hal
diatas dan membuktikan secara realistis dan memenuhi syarat-syarat ilmu yang
telah ada.
Seiring dengan perkembangan ilmu
pengetahuan (khususnya ilmu agama islam, fiqh berkembang menjadi disiplin ilmu
(hukum islam), mencakup hukum-hukum yang dibentuk berdasarkan syari’ah, yang
penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman, dan ijtihad.
Selanjutnya Al-Jurjaniy mengemukakan
bahwa Fiqh dan Ushul Fiqh adalah ilmu yang dihasilkan melalui pemikiran
(ijtihad) dan memerlukan wawasan serta perenungan. Oleh karena itu, Allah tidak
bisa disebut sebagai faqih (ahli dalam fiqh), karena bagi-Nya segala sesuatu
telah jelas. Sedangkan faqih perlu menjelaskan maksud dan kehendak Allah
sebagai pembuat hukum atau syari’ah (al-Syari’). Pada saat ini, orang yang ahli
tentang fiqh disebut dengan faqih atau dengan menggunakan jamaknya fuqaha.
Fuqaha termasuk dalam kategori ulama, meskipun tidak setiap ulama adalah
fuqaha. Selanjutnya ilmu fiqh disebut pula dengan ilmu furu’, ilmu hal, ilmu
al-halal wa al-haram, dan ilmu syar’I wa al-ahkam (A. Djazuli, 1993: 16)
Selain difinisi ilmu fiqh dari
al-Jurjaniy dari madzhab Hanafi, ada juga yang mendifinisikan ilmu fiqh sebagai
ilmu yang menerangkan segala hak dan kewajiban (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1963: 17).
Tentu saja definisi ini menunjukan pengertian yang luas, tercakup
didalamnya segala aspek yang berkaitan
dengan aqidah.
Secara metodologi keilmuan, fiqh memiliki realitas sosial yang
tampak dan dalam membantu keberlangsungan hidup beragama, seperti contoh
berwudhu’ dalam kajian rasiaonalis tampak tidak berguna, tetapi dalam
pengamalan dan filosofis dari anjuran syara’ memiliki keajaiban yang mampu
membangun realitas seperti membasuh telinga yang pada hakikatnya kontraksi
penyucian, dengan do’a yang dibaca membuat telinga terjaga dari kemaksiatan,
dan juga pada persoalan lain seperti masa iddah pada seorang wanita yang jumhur
ulama’ menyatakan harus tiga kali sucian, hal ini juga memiliki makna menjaga
kontaminasi keturunan dari suami sebelumnya secara biologis, dan ranah ini juga
bukti terungkapnya fiqh dalam ranah rasio yang jadi tolak ukur ilmu secara
umum,
Fiqh dan ilmu ushul fiqh secara kajian keilmuan memiliki nama, yang
juga merupakan bentuk pengakuan dan persetujuan bahwa fiqh merupakan ilmu yang
memiliki metode, dan secara tidak langsung dari beralihnya peradaban dari dulu
sampai sekarang fiqh tetap menjadi bahan ilmu dalam hukum syara’, fiqh ataupun
ushul fiqh tidak dimiliki oleh agama-agama selain agama islam kita,
Perlunya seseorang terhadap paham(fiqh), dalam objek independen
fiqh itu sendiri juga menjadi indikasi penting pula terhadap kebenaran ilmu
fiqh. dan juga masuknya ilmu fiqh dalam
ranah sosial lebih-lebih pada kesehatan membuat seseorang terasa meyakini
kebenaran fiqh. Contoh konkrit pada persoalan makanan yang didapat dari hasil
mencuri, dikaitkan dengan sabda nabiyang inti pokonya akan mengelapkan hati,
dan apabila hati telah gelap maka dampaknya akan mengarah pada perangai
sehari-hari dalam interaksi.
Hal lain mungkin sebelumnya belum
kita ketahui kasus haramnya babi dari dimensi biologisnya ternyata, babi
diharamkan juga ada keuntungan bagi kesehatan, karena daging babi mengandun
gizi tinggi lebih tinggi dari gizi yang menjadi kebutuhan manusia semestinya,
sehingga bila dikonsumsi oleh manusia akan menyebabkan darah tinggi dan stroke,
terdapat keindahan yang tersembunyi dari itu semua.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan yang telah kami sajikan diatas dapat disimpulkan bahwa Fiqh dan
Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu yang turun-temurun . Dan hal tersebut tetap
dipegang teguh dengan rasa cinta yang tulus dan ikhlas, sedangakan Fiqh adalah sebuah ilmu yang memiliki cakupan yang
cukup luas (mother of science), sehingga agama juga menjadi sub menu
dalam kajiannya.
Hubungan antara Fiqh dan Ushul fiqh merupakan satuan makna
yang terpisah secara bahasa, yang
sebenarnya tidak memilki pertentangan, bahkan semuanya mendukung dalam
menghadirkan Ultimate reality,
sehingga keragu-raguan akan hilang secara perlahan dengan pemahaman tanpa hijab
tentang agama yang dalam filsafat adalah sebuah keindahan murni.
Dengan adanya keterkaitan semacam ini,
bila kita mengikuti amar Kalamullah yaitu Tafakkaru fii kholqillah akan semakin
menanamkan dan merekonstruksi kembli nilai-nilai serta paradigma yang hampir
terkikis oleh modernization.
B.
Saran-saran
Bila Fiqh dan
Ushul fiqh merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an
adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya
merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok
ajaran al-qur’an.
Pada point di
atas penyusun mengharapkan pada para pembaca untuk
senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca,
karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan,
membaca juga merupakan terapi atas
keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun
itu, karena membaca adalah pengiring pertama menuju ridho-Nya.
DAFTAR PUSTASKA
Ishomuddin, Abbadi, H. Ushul Fiqh, pengantar Teori Hukum Islam,
cet, I, Pamekasan Press, 2010.
Syarifuddin, Amir, Prof, Dr. Garis-Garis Besar Fiqh, Jakarta
: kencana, 2003.
Supriyatni, Renny, Dr, Hj, PengantarHukum Islam, Maret 2011.
Amiruddin, Zen, Drs, H, Msi, Ushul Fiqh, Lembaga kajian Agama
& Filsafat, Surabaya (el-kaf),
2006.
Abidin,
Zainal, M.EI, Fiqh Kontemporer, cet,1, Pamekasan press,2010.
Syafe’i,
Rahmat, Prof, Dr, M.A. Ushul Fiqh, Bandung Pustaka Setia.
Nur,
Saifudin, M,Ag, Ilmu Fiqh, cet, I, Buahbatu,Bandung, Maret 2007.
Djatnika,Rachmat,
Prof, Dr, Perkembangan Ilmu Fiqh Di Dunia Islam,Kelembagaan Agama Islam
Depag, 1986.
[1] CD
kutub al-Tis’ah, al-Bukhari, hadith no:69
[2]
Team Dirasah Islamiah,Ibadah dan Syari’ah
(Jakarta:UIJ, 1978), 7.
[3]
Badruddin Muhammad Bin Bahadir
al-zarkasyi, al-bahru al-Muhit Fi Ushul al-Fiqh (Bairut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah,2000),cet,I,h.10
[4]
Abdul Hamid Hakim, al-Bayan (Jakarta:Sa’adiyah putra) h,3.
[5]
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Dar al-Fikr al-Arabi) h, 7.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar