KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum wr.wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya,kami bisa
menyalesaikan makalah dengan judul “Ahwal Dalam Perspektif Kaum Sufi”. Makalah
ini di buat untuk memenuhi tugas mata
kuliah tasawuf yang dibina oleh Ibu Norholisah Spd yang nantinya akan menjadi
nilai tugas kelompok.
Dalam menyelesaikan makalah ini
banyak pihak-pihak yang ikut memberikan bantuan baik material maupun spiritual,
mulai dari orang tua maupun teman-teman yang selalu mendukung dan memotivasi.
Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan
setinggi-tingginya. Hanya do’a yang bisa penulis panjatkan semoga yang memberi
bantuan mendapat balasan dari Allah SWT.
Makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak
sangat kami harapkan. Saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi makalah
selanjutnya. Harapan penulis semoga makalah ini akan memberikan manfaat bagi
pembaca dan semua orang.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Pamekasan
4 september 2011
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Penulisan Makalah
Akhir-akhir ini tinjauan analisis
terhadapa tasawuf menunjukkan upaya para sufi dengan berbagai aliran dianutnya
memilki suau konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah SWT. Jalan ini
dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah), lalu secara lengkap
bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dah
ahwal atau hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal mengenal ma’rifat dari
Allah SWT. Dalam berbagai jalan ini yang akan diperjalas adalah tentang ahwal
atau hal (keadaan) dalam prespektif dalam kaum sufi.
Ahwal atau hal (keadaan) merupakan
kondisi psikologis ketika ketika seorang
sufi mencapai maqam tertentu. Menurut Ath-Thusi, hal tidak termasuk usaha
latihan-latihan rohaniyah (jalan). Adapun hal dapat diperoleh oleh seorang sufi
tanpa disengaja atau dating dengan sendirinya.
B. Rumusan Penulisan
- Apa pengertian tasawuf
- Bagaimana konsep kaum sufi?
- Apa yang dimaksud dengan ahwal dalam tasawuf?
C. Tujuan Penulisan Makalah
- Untuk mengetahui pengertian dari tasawuf
- Untuk mengetahui bagaimana konesp kaum sufi
- Untuk mengetahui apa itu ahwal dalam kaum sufi
- Untuk mengetahui bagaimana struktur dari ahwal dalam kaum sufi
- Untuk mengetahui apa perbedaan maqam dengan hal
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tasawuf
Tentang definisi tasawuf (sufisme)
beberapa pendapat dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi dan orientalis. Beberapa
diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Abu
Qasim Abdul Karim Al-Qusairi, seorang penulis sufi terkenal, menyebutkan
didalam Kiatb Ar-Risalah Al-Qusyairiyah lebih dari lima puluh definisi tasawuf.[1]
2.
Faridud-Din ‘Ath-Thar, mengatakan
didalam salah satu hasil karyanya yang terbesar Tadzkirah Al-Awliyaa, bahwa
tasawuf (sufisme) adalah suatau ungkapan tentang sekujur tubuh mayat (orang
yang telah meninggal dunia) dan ungkapan tentang hati nurani yang hilang (kosong)
serta ruh yang terbakar.[2]
3. Abu
Hamzah Al-Baqdadi mengatakan bahwa tanda seorang sufi yang benar adlah menjadi
miskin dan papa setelah mengalami hidup kaya, menjadi hina setelah mulia, dan
bersembunyi dari keramaina setelah menjadi seorang yang terkenal dan masyhur.[3]
4. Marie
Schimmel, mengatakan bahwa sulit mendefinisikan tasawuf secara lengkap, karena
kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja.[4]
Dalam mengenai pembahasan definisi
maupun asal usul kata tasawuf tidak akan pernah ada batas penyelesaian karena
selalu menjadi ajang perbedaan pendapat dikalangan pembesar sufi itu sendiri.[5]
Hal itu bedasarkan pada pemaparan
pengertian-pengertian diatas yang telah dikemukakan oleh para ahli tasawuf itu
sendiri. Disana dapt kita lihat betapa sangat jelas perbedaan-perbedaan dalam mendefinisi
arti tasawuf, sehingga memang tidak aakan ada penyelesaiannya.
B. Konsep Kaum Sufi
“Kaum sufi memegang teguh unisitas jalan
hidup, sehingga mereka memberi perhatian pada batin sebagaimana pada penegakan
dan pelaksanaan hokum islam (syari’ah) secara lahir. Jadi, adalah kebodohan
ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa gerakan sufi adalah sebuah gerakan
esoteric dan akhirnya memandang sebelah mata pada sufisme dan menganggapnya
hanya sebagai satu cara hidup, mengasingkan diri dan menjadi biarawan. Ini
bukan berarti tidak ada sufi yang menjalani kehidupan sesuai dengan kondisi
istimewa/kecenderungan pribadi seorang sufi.”[6]
Seorang
sufi sejati harus senantiasa membiasakan dan melakukan cara-cara hidup islami yang asli, dan
meliputi etnik, adat, dan bahasa apa
saja, karena sudah jelas bahwa seorang sufi itu lebih memberi perhatian
terhadap batin mereka, karena suatu keinginan yang amat sangat untuk mencapai
Tuhan.
C. Definisi Ahwal
Ahwal adalah
jamak dari hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dalam oleh para
sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan. Ahwal jugabisa diartikan
situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagaima karunia Allah SWT, bukan
dari hasil usahanya. Ahwal dan hal merupakan
keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut, dan sebagainya.
Dapat pula diartikan dengan keadaan-keadaan spriritual. Ada ribuan diatas
ribuan keadaan spiritual. Sebagai anugerah dan karunia AllahSWT kepada hati
para penempuh jalan spiritual yang masing-masing mengandung banyak sekali
kiasan halus. Orangyang mendengar konser sprirtual bias mengalami berbagai
keadaan spiritual.[7]
“Imam
Qusyairi menjelaskan bahwa setiap hal merupakan karunia. Dan setiap maqam adalah upaya pada Al-Hal, dating dari wujud itu sendiri,
sedang maqam, diperoleh melalui upaya
perjuangan. Orang yang memilki maqam,
menempati maqamnya dan orang yang berada dalam hal, bebas dari kondisinya. Hal
merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang sufi keberadaanya
tidakalah tetap. Artinya, hal terkadang
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya
sekejap. Meskipun hal merupakan
kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin
memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau
ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat dikatakan bahwa ahwal dan maqamat
adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.”[8]
“Abu Nasr As-Sarraj mengemukakan adanya
sepuluh ahwal, yaitu (1)muraqabah
yakni usaha mersakan kedekatan dengan Allah SWT atau merasa diawasi oleh Allah
SWT, (2) qurb adalah dekat dengan
Allah SWT, (3) mahabbah atu cinta kepada Allah SWT, (4) khawf merupakan takut kepada Allah SWT, (5) raja’ yang artinya menharap kepada Allah SWT, (6) syawq (rindu
kepada Allah SWT), (7) uns yaitu
merasa gembira dalam mnengat Allah, (8)tuma’ninah
yakni merasa tenteram dalam mengingat Allah SWT, (9) musyahadah adalah
menyaksikan dengan hati kepada Allah SWT, dan (10) yaqin atau percaya yang
sesungguhnya kepada Allah SWT.[9]
D. Struktur Ahwal
1. Muraqabah
Yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah
kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaaan konsentrasi dan
waspada. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya
sendiri sebagai manusia. Atau dengan istilah lain, kesadaran akan kesatuan
antara mikromos, makromos , metakromos.[10]
Kondisi ini berhubungan dengan jiwa. Seorang sufi
akan merasakan kedekatan antara Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Pada
tingkatan ini diharapkan ada dalam setiap kaum sufi. Karena muraqabah ini
menjadi dasar dalam melakukan sebauh ibadah untuk dekat dengan Allah SWT.
Muraqabah merupakan bentuk hal yang
sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam
rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kesadaran semacam
ini, seorrang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada
kualitas kesempurnaan penciptaannya.[11]
Untuk melakukan muraqabah diperlukan
kedisiplinan yang sangat tinggi. Hal ini sangat penting perwujudan konsistensi
diri pada perbuatan aatau perilaku dalam muraqabah.
2. Mahabbah
Dalam pendapat bebrapa ulama ada
yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang merupakan
puncak pencapaian para sufi. Mahabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan
kemantapan.
Al-Junaidi
ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan
dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal,
kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan yang melupakan sifatnya sendiri.[12]
Ilustrasi
tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi, bahwa mahabbah adalah
bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak
Tuhan, yakni kerinduannya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak
manusia ialah kembali pada esesensinya sebagai wujud mutlak.[13]
3. Khauf
Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf
merupakan cambuk yang digunakan Allah swt. Untuk menggiring hamba-hambanNya
menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya, mrerka dapat dekat dengan Allah
SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakut, yang
akan menimpa diri pada waktu mendatang.[14]
Dalam
hal ini khauf bisa membuat seorang hamba mawas diri atau dapat membuat seorang
hamba menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan akan selalau membuat
dirinya mempunyai semangat atau kemauan yang tinggi dalam melakuakan hal yang
berhubungan dengan pendekatan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila
seseorang tidak mempunyai sifat khauf, maka secara tidak langsung akan membuat
seoarng hamba berani melakuan kemaksiatan tanpa rasa takut sedikitpun kepada
Allah SWT.
Uraian
untuk memberikan penjelasan tentang khauf (takut)sangatlah banyak pendapat.
Yakni antara lain umgkapan “Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah pelita hati, dan dengan takut baik dan buruk
hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar al-Dimasyiqi mengaskan, bahwa
orang yang takut adalah orang yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih
takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandangan bahwa manusia yang
takut (kepada Alla) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya
takut.”[15]
Setelah
melihat dan mengkaji pendapat yang dikemukan oleh para ahli tasawuf diatas,
dapat dipahami bahwa takut yang dimaksudkan disini adalah perasaan takut akibat
yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga perasaan ini akan secara
otomatis memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik, pada masa mendatang
ia akan menerima akibat yang baik pula. Dengan kata lain khauf (takut), adalah
mereka yang berpikiran luas dan dalam jangka panjang kedepan, bukan sosok yang
berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.
D. Raja’
Sebagaimana
halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan adalah kerikatan hati dengan
sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al-Qusyairi
membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat
aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seorang mengharapkan sesuatu akan
berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya.
Sementara orang yang meangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan
apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang diangan-angankan.[16]
Jika
dalam diri seseorang sudah ada yang diharapkan, maka orang tersebut akan
berusaha dan selalu berikhtiar untuk tercapainya apa yang menjadi harapan dalam
dirinya. Sedangkan bagi orang-orang yang hanya meangan-angankan sesuatu dia
tidak akan mempunyai kemauan untuk berusaha meraih apa yang sudah dia angankan.
Raja’
menuntut tiga perkara, yaitu:
- Cinta kepada apa yang diharapkan
- Takut harapannya hilang
- Berusah untuk mencapainya[17]
Ibnu
Khubaiq membagi harapan menjadi tiga: 1) manusia yang melakukan amal kebaikan,
dengan harapan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima oleh
Allah SWT; 2) Manusia yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan
akan mendapatkan ampunan dari Allah; 3) orang yang menipu terur menerus
melakukan kesalahn dengan mengharapkan ampunan.
Untuk itu disarankan bagi orang yang
menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan
ampunan. Raja’ (harapan) akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam
menjalankan segala aktifitasnya serta menhilangkan segala keraguan yang
menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya
dengan penuh keyakinan.[18]
E. Shauq
Rindu
(shauq) merupakan luapan perasaaan seorang individu yang menharapkan untuk
senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan
terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan.
Begitu pula seoarng hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT akan terlepas
dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenayan, sebagai bukti dari perasaan
rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseorang dari nafsu.
Secara
psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala
aktifitasnya baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu,
sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Sehingga ia
akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan
terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan dan
kecemasan.[19]
F. Uns
Uns
adalah perasaan suka cita kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan
kedekatan dengan Tuhan. Dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam
kebenaran, seorang yang ada pada kondisi
uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang
meluap-luap luar biasa sehingga sangat sulit untuk dilukiskan. Keadaan semacam
ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam keadaan tertentu.
Seorang
sufi yang mempunyai sifat uns akan senantiasa mersa dekat dan berteman dengan
Allah SWT. Selain itu mereka tidak akan pernah mersa sepi melainkan mersakan kebahagian yang sangat
besar. Karena didalam hatinya telah diisi oleh cinta serta kasih saying yang
sangat luar biasa. Dalam mengalami uns setiap sufi memiliki pengalaman
sendiri-sendiri dengan rasa yang sangat pribadi, sehingga sangat sulit untuk
dilukiskan.
G. Tuma’ninah
Tuma’ninah
adalah keteguhan atau ketenteraman hati dari segala hal yang dapat
mempengaruhinya. Ibnu Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama ,
ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut
kepada Allah . kedua, ketenteraman jiwa pada Kashf, ketenteraman perindu pada batas penantian, dan ketenteraman
perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketenteraman menyaksikan Tuhan pada
kelembutan kasihnya, ketenteraman pertemuan pada baqa’ (keabadiannya), dan
ketenteraman maqam pada cahaya
keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. [20]
Jika
dipahami secara lebih luas dan mendalam, apa yang terjadi dalam fenomena fana’
pada dasarnya adalah sebuah perasaan terpesona yang luar biasa terhadap
fenomena keindahan alam semesta dengan segal keteraturan dan hikuk-pikuknya,
yang dalam pandangan sufi adalah wujud keindahan kebesaran Tuhan.
H. Musyahadah
Penjelasan
mengenai musyahadah serinh dikaitkan dengan uraian tentang muhadaharah dan
mukasyafah. Muhadharah berarati kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya,
sedangkan musyahadah adalah kehadiran at-haqq dewngan tanpa dibayangkan.
Secara
psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah, senantiasa penuh
keceriaan dalam setiap ruang dan waktu. Dalam situasi dan kondisi apa pun, baik
yang langka ditemui maupun yang telah biasa ditemui dan dialami, akan
senantiasa ditangkap sama dengan penuh kesegaran apresiasi.
I. Yaqin
Al-Yaqin
dalam terminology sufi adalah perpaduan antara ilmu al-yaqin dan haqq al-yaqin.
‘ilm-yaqin dalam terminology para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat
adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu yang ada dengan kejelasan. Haqq
al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang disertai kenyataannya.[21]
Dari
uraian di atas menunjukkan bahwa, secara teoritis para ahli tasawuf sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat.
Namun, pada tataran interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri
berdasarkan pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian maqamat
dan ahwal merupakan pengalaman spiritual pribadi, sehingga yang mengetahui
secara persis adalah sufi yang mengaminya secara langsung.
E. Perbedaan Antara Ahwal dan Maqamat dalam tasawuf
Para
sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal secara teliti. Maqam menurut mereka,
ditandai dengan kemapanan, sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat
dicpai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Adapun hal dapat diperoleh
seseorang tanpa disengaja.
Mengenai
hal, Al-Qusyairi berkata, “hal adalah makna yang datang pada kalbu secara tidak
disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih
hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu,, rasa gelisah, atau dengan
daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam dapat
diperoleh dengan daya dan upaya. Orang yang memperoleh maqam dapat tetap dalam
tingkatannya, sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas dari
dirinya.Ibid”[22]
Perlu
dicatat, antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi
dalam satu mata uang. Ketrekaintan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan
bahwa maqam menjadi persyaratan menuju Tuhan;
bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Sebaliknya, hal yang telah
ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqm
selanjutnya.
Sekedar
contoh, seseorang yang tengah berada dalam maqam tpbat akan menemukan hal (perasaan)
betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa dihadapan
Tuhan. Persaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak mengerjakan kembali
dosa-dosa yang pernah dilakukan.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Hal terkadang
datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya
sekejap. Meskipun hal merupakan
kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin
memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau
ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat dikatakan bahwa ahwal dan maqamat
adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.
B. Saran-Saran
Pada
point ini penyusun mengharapkan pada para pembaca untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca
dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan
pengetahuan, membaca juga merupakan terapi
atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bila
tasawuf merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa tasawuf adalah
cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya
merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok
ajaran tasawuf.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhammad Hasyim, dialog antara tasawuf dan psikologi.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2000.
Ahmad Athoullah , Diklat Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf.
Serang:IAIN Sunan Gunung Jati.1985.
Jumantoro
Totok , Kamus Ilmu Tasawuf . Amza.
2005.
Zainuddin,
Kamus Tasawuf, Bandung:Pustaka
Hidayah. 1998.
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. Bandung:CV PUSTAKA SETIA.2010
[1]
Hasyim Muhammad, dialog antara tasawuf
dan psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.13.
[2]
Ibid. hal.14
[3]
Hasyim Muhammad, Dialog Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2000, hal.14.
[4]
Ibid.
[5]
Ibid. hal.15.
[6]
Athoullah Ahmad, Diklat Ilmu Akhlak dan
Ilmu Tasawuf, Serang:IAIN Sunan Gunung Jati, 1985, hal.102.
[7]
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf ,
Amza, 2005, hal.7.
[8]
Zainuddin, Kamus Tasawuf,
Bandung:Pustaka Hidayah, 1998, hal.185.
[9]
Ibid.
[10]
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000, hal.47
[11]
. Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000, hal.47
[12]
Ibid, hal.48.
[13]
Ibid.48-49.
[14]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, hal.204.
[15]
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000, hal.47
[16]
Ibid.51-52.
[17]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 204.
[18]
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000, hal.47
[19]
Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka
Pelajar, 2000, hal.53
[20]
Ibid.54
[21]
Ibid. 57.
[22]
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 199.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar