Sabtu, 01 Juni 2013

akhlak tasawuf



KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum wr.wb
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya,kami bisa menyalesaikan makalah dengan judul “Ahwal Dalam Perspektif Kaum Sufi”. Makalah ini di buat untuk  memenuhi tugas mata kuliah tasawuf yang dibina oleh Ibu Norholisah Spd yang nantinya akan menjadi nilai tugas kelompok.
            Dalam menyelesaikan makalah ini banyak pihak-pihak yang ikut memberikan bantuan baik material maupun spiritual, mulai dari orang tua maupun teman-teman yang selalu mendukung dan memotivasi. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terimakasih dan penghargaan setinggi-tingginya. Hanya do’a yang bisa penulis panjatkan semoga yang memberi bantuan mendapat balasan dari Allah SWT.
            Makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sangat kami harapkan. Saran dan kritik akan sangat bermanfaat bagi makalah selanjutnya. Harapan penulis semoga makalah ini akan memberikan manfaat bagi pembaca dan semua orang.
Wassalamu’alaikum wr.wb

Pamekasan 4 september 2011


BAB I
PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Penulisan Makalah

            Akhir-akhir ini tinjauan analisis terhadapa tasawuf menunjukkan upaya para sufi dengan berbagai aliran dianutnya memilki suau konsepsi tentang jalan (tharikat) menuju Allah SWT. Jalan ini dimulai dengan latihan-latihan rohaniyah (riyadhah), lalu secara lengkap bertahap menempuh berbagai fase, yang dikenal dengan maqam (tingkatan) dah ahwal atau hal (keadaan) dan berakhir dengan mengenal mengenal ma’rifat dari Allah SWT. Dalam berbagai jalan ini yang akan diperjalas adalah tentang ahwal atau hal (keadaan) dalam prespektif dalam kaum sufi.
            Ahwal atau hal (keadaan) merupakan kondisi psikologis ketika  ketika seorang sufi mencapai maqam tertentu. Menurut Ath-Thusi, hal tidak termasuk usaha latihan-latihan rohaniyah (jalan). Adapun hal dapat diperoleh oleh seorang sufi tanpa disengaja atau dating dengan sendirinya.

B. Rumusan Penulisan

  1.   Apa pengertian tasawuf
  2. Bagaimana konsep kaum sufi?
  3.  Apa yang dimaksud dengan ahwal dalam tasawuf?

C. Tujuan Penulisan Makalah

  1. Untuk mengetahui pengertian dari tasawuf
  2. Untuk mengetahui bagaimana konesp kaum sufi
  3. Untuk mengetahui apa itu ahwal dalam kaum sufi
  4. Untuk mengetahui bagaimana struktur dari ahwal dalam kaum sufi
  5.  Untuk mengetahui apa perbedaan maqam dengan hal
                  

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Tasawuf
            Tentang definisi tasawuf (sufisme) beberapa pendapat dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi dan orientalis. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
         1. Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusairi, seorang penulis sufi terkenal, menyebutkan didalam Kiatb   Ar-Risalah Al-Qusyairiyah lebih dari lima puluh definisi tasawuf.[1]
          2.      Faridud-Din ‘Ath-Thar, mengatakan didalam salah satu hasil karyanya yang terbesar Tadzkirah Al-Awliyaa, bahwa tasawuf (sufisme) adalah suatau ungkapan tentang sekujur tubuh mayat (orang yang telah meninggal dunia) dan ungkapan tentang hati nurani yang hilang (kosong) serta ruh yang terbakar.[2] 
       3.      Abu Hamzah Al-Baqdadi mengatakan bahwa tanda seorang sufi yang benar adlah menjadi miskin dan papa setelah mengalami hidup kaya, menjadi hina setelah mulia, dan bersembunyi dari keramaina setelah menjadi seorang yang terkenal dan masyhur.[3]
       4.      Marie Schimmel, mengatakan bahwa sulit mendefinisikan tasawuf secara lengkap, karena kita hanya dapat menyentuh salah satu sudutnya saja.[4]
          Dalam mengenai pembahasan definisi maupun asal usul kata tasawuf tidak akan pernah ada batas penyelesaian karena selalu menjadi ajang perbedaan pendapat dikalangan pembesar sufi itu sendiri.[5] 
           Hal itu bedasarkan pada pemaparan pengertian-pengertian diatas yang telah dikemukakan oleh para ahli tasawuf itu sendiri. Disana dapt kita lihat betapa sangat jelas perbedaan-perbedaan dalam mendefinisi arti tasawuf, sehingga memang tidak aakan ada penyelesaiannya.
B. Konsep Kaum Sufi
           
“Kaum sufi memegang teguh unisitas jalan hidup, sehingga mereka memberi perhatian pada batin sebagaimana pada penegakan dan pelaksanaan hokum islam (syari’ah) secara lahir. Jadi, adalah kebodohan ketika ada sebagian orang mengatakan bahwa gerakan sufi adalah sebuah gerakan esoteric dan akhirnya memandang sebelah mata pada sufisme dan menganggapnya hanya sebagai satu cara hidup, mengasingkan diri dan menjadi biarawan. Ini bukan berarti tidak ada sufi yang menjalani kehidupan sesuai dengan kondisi istimewa/kecenderungan pribadi seorang sufi.”[6]
            Seorang sufi sejati harus senantiasa membiasakan dan melakukan  cara-cara hidup islami yang asli, dan meliputi  etnik, adat, dan bahasa apa saja, karena sudah jelas bahwa seorang sufi itu lebih memberi perhatian terhadap batin mereka, karena suatu keinginan yang amat sangat untuk mencapai Tuhan.

C. Definisi Ahwal
            Ahwal adalah jamak dari hal yang artinya keadaan, yakni keadaan hati yang dalam oleh para sufi dalam menempuh jalan untuk dekat kepada Tuhan. Ahwal jugabisa diartikan situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagaima karunia Allah SWT, bukan dari hasil usahanya. Ahwal dan hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, perasaan takut, dan sebagainya. Dapat pula diartikan dengan keadaan-keadaan spriritual. Ada ribuan diatas ribuan keadaan spiritual. Sebagai anugerah dan karunia AllahSWT kepada hati para penempuh jalan spiritual yang masing-masing mengandung banyak sekali kiasan halus. Orangyang mendengar konser sprirtual bias mengalami berbagai keadaan spiritual.[7]
 “Imam Qusyairi menjelaskan bahwa setiap hal merupakan karunia. Dan setiap maqam adalah upaya pada Al-Hal, dating dari wujud itu sendiri, sedang maqam, diperoleh melalui upaya perjuangan. Orang yang memilki maqam, menempati maqamnya dan orang yang berada dalam hal, bebas dari kondisinya. Hal merupakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada seorang sufi keberadaanya tidakalah tetap. Artinya, hal terkadang datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya sekejap. Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat dikatakan bahwa ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.”[8]
           
“Abu Nasr As-Sarraj mengemukakan adanya sepuluh ahwal, yaitu (1)muraqabah yakni usaha mersakan kedekatan dengan Allah SWT atau merasa diawasi oleh Allah SWT, (2) qurb adalah dekat dengan Allah SWT, (3) mahabbah atu cinta kepada Allah SWT, (4) khawf merupakan takut kepada Allah SWT, (5) raja’ yang artinya menharap kepada Allah SWT, (6) syawq (rindu kepada Allah SWT), (7) uns yaitu merasa gembira dalam mnengat Allah, (8)tuma’ninah yakni merasa tenteram dalam mengingat Allah SWT, (9) musyahadah adalah menyaksikan dengan hati kepada Allah SWT, dan (10) yaqin atau percaya yang sesungguhnya kepada Allah SWT.[9]

D. Struktur Ahwal

           1.      Muraqabah

Yang dimaksud muraqabah dalam tradisi sufi adalah kondisi kejiwaan yang dengan sepenuhnya ada dalam keadaaan konsentrasi dan waspada. Lebih jauh, muraqabah akan penyatuan antara Tuhan, alam dan dirinya sendiri sebagai manusia. Atau dengan istilah lain, kesadaran akan kesatuan antara mikromos, makromos , metakromos.[10]
Kondisi ini berhubungan dengan jiwa. Seorang sufi akan merasakan kedekatan antara Tuhan, alam, dan dirinya sendiri. Pada tingkatan ini diharapkan ada dalam setiap kaum sufi. Karena muraqabah ini menjadi dasar dalam melakukan sebauh ibadah untuk dekat dengan Allah SWT.
            Muraqabah merupakan bentuk hal yang sangat penting. Karena pada dasarnya segala perilaku peribadatan adalah dalam rangka muraqabah atau mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kesadaran semacam ini, seorrang hamba akan selalu mawas diri, menjaga diri untuk tetap pada kualitas kesempurnaan penciptaannya.[11]
            Untuk melakukan muraqabah diperlukan kedisiplinan yang sangat tinggi. Hal ini sangat penting  perwujudan konsistensi diri pada perbuatan aatau perilaku dalam muraqabah.

     2.   Mahabbah

          Dalam pendapat bebrapa ulama ada yang menempatkan mahabbah sebagai bagian dari maqamat tertinggi, yang merupakan puncak pencapaian para sufi. Mahabbah (cinta), mengandung arti keteguhan dan kemantapan.
         Al-Junaidi ketika ditanya tentang cinta menyatakan bahwa seorang yang dilanda cinta akan dipenuhi oleh ingatan pada sang kekasih, sehingga tak satupun yang tertinggal, kecuali ingatan pada sifat-sifat sang kekasih, bahkan yang melupakan sifatnya sendiri.[12]
         Ilustrasi tentang cinta juga dikemukakan oleh Ibnu al-‘Arabi, bahwa mahabbah adalah bertemunya dua kehendak, yakni kehendak Tuhan dan kehendak manusia. Kehendak Tuhan, yakni kerinduannya untuk bertajalli dengan alam, sedangkan kehendak manusia ialah kembali pada esesensinya sebagai wujud mutlak.[13]

  3. Khauf

        Ahmad Faridh menegaskan bahwa khauf merupakan cambuk yang digunakan Allah swt. Untuk menggiring hamba-hambanNya menuju ilmu dan amal supaya dengan keduanya, mrerka dapat dekat dengan Allah SWT. Khauf adalah kesakitan hati karena membayangkan sesuatu yang ditakut, yang akan menimpa diri pada waktu mendatang.[14]
          Dalam hal ini khauf bisa membuat seorang hamba mawas diri atau dapat membuat seorang hamba menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan maksiat dan akan selalau membuat dirinya mempunyai semangat atau kemauan yang tinggi dalam melakuakan hal yang berhubungan dengan pendekatan diri kepada Allah SWT. Sebaliknya apabila seseorang tidak mempunyai sifat khauf, maka secara tidak langsung akan membuat seoarng hamba berani melakuan kemaksiatan tanpa rasa takut sedikitpun kepada Allah SWT.
        Uraian untuk memberikan penjelasan tentang khauf (takut)sangatlah banyak pendapat. Yakni antara lain umgkapan “Abu Hafs yang menyatakan bahwa takut adalah  pelita hati, dan dengan takut baik dan buruk hati seseorang akan tampak. Sementara Abu Umar al-Dimasyiqi mengaskan, bahwa orang yang takut adalah orang yang takut akan dirinya sendiri, bahkan lebih takut dari takutnya pada setan. Ibnu Jalla’ berpandangan bahwa manusia yang takut (kepada Alla) adalah yang dirinya merasa aman dari hal-hal yang membuatnya takut.”[15]
          Setelah melihat dan mengkaji pendapat yang dikemukan oleh para ahli tasawuf diatas, dapat dipahami bahwa takut yang dimaksudkan disini adalah perasaan takut akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan. Sehingga perasaan ini akan secara otomatis memberikan dorongan untuk melakukan yang terbaik, pada masa mendatang ia akan menerima akibat yang baik pula. Dengan kata lain khauf (takut), adalah mereka yang berpikiran luas dan dalam jangka panjang kedepan, bukan sosok yang berpikiran sempit dan untuk kepuasan sementara.

D. Raja’

           Sebagaimana halnya dengan khauf (takut), raja’ (harapan adalah kerikatan hati dengan sesuatu yang diinginkan terjadi pada masa yang akan datang. Al-Qusyairi membedakan antara harapan (raja’) dengan angan-angan (tamanni). Raja’ bersifat aktif, sementara tamanni bersifat pasif. Seorang mengharapkan sesuatu akan berupaya semaksimal mungkin untuk meraih dan merealisasikan harapan-harapannya. Sementara orang yang meangan-angankan sesuatu hanya berdiam diri dan tidak melakukan apapun yang dapat mengantarkannya untuk mendapatkan yang diangan-angankan.[16]
         Jika dalam diri seseorang sudah ada yang diharapkan, maka orang tersebut akan berusaha dan selalu berikhtiar untuk tercapainya apa yang menjadi harapan dalam dirinya. Sedangkan bagi orang-orang yang hanya meangan-angankan sesuatu dia tidak akan mempunyai kemauan untuk berusaha meraih apa yang sudah dia angankan.

Raja’ menuntut tiga perkara, yaitu:

  1.  Cinta kepada apa yang diharapkan 
  2.  Takut harapannya hilang  
  3.   Berusah untuk mencapainya[17]
         Ibnu Khubaiq membagi harapan menjadi tiga: 1) manusia yang melakukan amal kebaikan, dengan harapan amal kebaikan, dengan harapan amal baiknya akan diterima oleh Allah SWT; 2) Manusia yang melakukan amal buruk, kemudian bertaubat, dengan harapan akan mendapatkan ampunan dari Allah; 3) orang yang menipu terur menerus melakukan kesalahn dengan mengharapkan ampunan.
       Untuk itu disarankan bagi orang yang menipu diri dengan terus-menerus melakukan kesalahan dengan mengharapkan ampunan. Raja’ (harapan) akan membawa seseorang pada perasaan optimis dalam menjalankan segala aktifitasnya serta menhilangkan segala keraguan yang menyelimutinya. Dengan demikian, ia akan melakukan segala aktifitas terbaiknya dengan penuh keyakinan.[18]

E. Shauq

         Rindu (shauq) merupakan luapan perasaaan seorang individu yang menharapkan untuk senantiasa bertemu dengan sesuatu yang dicintai. Luapan perasaan kerinduan terhadap sesuatu akan menghapuskan segala sesuatu selain yang dirindukan. Begitu pula seoarng hamba yang dilanda kerinduan kepada Allah SWT akan terlepas dari segala hasrat selain Allah. Oleh karenayan, sebagai bukti dari perasaan rindu (shauq) adalah terbebasnya diri seseorang dari nafsu.
           Secara psikologis, seseorang yang dilanda perasaan rindu, adalah mereka yang segala aktifitasnya baik perilaku maupun gagasannya tertuju pada satu titik tertentu, sesuai dengan apa yang dianggapnya sebagai kebenaran yang hakiki. Sehingga ia akan senantiasa terjaga dari segala hal yang tidak seharusnya ia lakukan  atau ia pikirkan. Ia akan melakukan segala tindakan terbaiknya dengan penuh kesenangan dan kegembiraan, tanpa rasa keraguan dan kecemasan.[19]

F. Uns

           Uns adalah perasaan suka cita kondisi kejiwaan, dimana seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan. Dalam pengertian lain disebut sebagai pencerahan dalam kebenaran, seorang yang ada  pada kondisi uns akan merasakan kebahagiaan, kesenangan, kegembiraan serta suka cita yang meluap-luap luar biasa sehingga sangat sulit untuk dilukiskan. Keadaan semacam ini dapat dialami oleh seorang sufi dalam keadaan tertentu.
         Seorang sufi yang mempunyai sifat uns akan senantiasa mersa dekat dan berteman dengan Allah SWT. Selain itu mereka tidak akan pernah mersa sepi  melainkan mersakan kebahagian yang sangat besar. Karena didalam hatinya telah diisi oleh cinta serta kasih saying yang sangat luar biasa. Dalam mengalami uns setiap sufi memiliki pengalaman sendiri-sendiri dengan rasa yang sangat pribadi, sehingga sangat sulit untuk dilukiskan.

G. Tuma’ninah

        Tuma’ninah adalah keteguhan atau ketenteraman hati dari segala hal yang dapat mempengaruhinya. Ibnu Qayyim membagi tuma’ninah dalam tiga tingkatan: pertama , ketenangan hati dengan mengingat Allah, yakni ketenteraman seorang yang takut kepada Allah . kedua, ketenteraman jiwa pada Kashf, ketenteraman perindu pada batas penantian, dan ketenteraman perpisahan pada pertemuan. Ketiga, ketenteraman menyaksikan Tuhan pada kelembutan kasihnya, ketenteraman pertemuan pada baqa’ (keabadiannya), dan ketenteraman maqam pada cahaya keabadian. Ketiga tingkatan ini berkaitan dengan konsep fana’ dan baqa’. [20]
                        Jika dipahami secara lebih luas dan mendalam, apa yang terjadi dalam fenomena fana’ pada dasarnya adalah sebuah perasaan terpesona yang luar biasa terhadap fenomena keindahan alam semesta dengan segal keteraturan dan hikuk-pikuknya, yang dalam pandangan sufi adalah wujud keindahan kebesaran Tuhan.

H. Musyahadah

        Penjelasan mengenai musyahadah serinh dikaitkan dengan uraian tentang muhadaharah dan mukasyafah. Muhadharah berarati kehadiran kalbu dengan sifat nyatanya, sedangkan musyahadah adalah kehadiran at-haqq dewngan tanpa dibayangkan.
                        Secara psikologis, kondisi kejiwaan seorang yang musyahadah, senantiasa penuh keceriaan dalam setiap ruang dan waktu. Dalam situasi dan kondisi apa pun, baik yang langka ditemui maupun yang telah biasa ditemui dan dialami, akan senantiasa ditangkap sama dengan penuh kesegaran apresiasi.

I. Yaqin

         Al-Yaqin dalam terminology sufi adalah perpaduan antara ilmu al-yaqin dan haqq al-yaqin. ‘ilm-yaqin dalam terminology para ulama adalah sesuatu yang ada dengan syarat adanya bukti. Sedangkan ‘ain al-yaqin, sesuatu yang ada dengan kejelasan. Haqq al-yaqin adalah sesuatu yang ada dengan sifat-sifat yang disertai kenyataannya.[21]
         Dari uraian di atas menunjukkan bahwa, secara teoritis para ahli tasawuf  sepakat dengan konsep ahwal dan maqamat. Namun, pada tataran interpretatif, para ahli tasawuf memiliki uraian tersendiri berdasarkan pengalaman masing-masing. Karena pada dasarnya pencapaian maqamat dan ahwal merupakan pengalaman spiritual pribadi, sehingga yang mengetahui secara persis adalah sufi yang mengaminya secara langsung.

E. Perbedaan Antara Ahwal dan Maqamat dalam tasawuf

         Para sufi menegaskan perbedaan maqam dan hal secara teliti. Maqam menurut mereka, ditandai dengan kemapanan, sedangkan hal justru mudah hilang. Maqam dapat dicpai seseorang dengan kehendak dan upayanya. Adapun hal dapat diperoleh seseorang tanpa disengaja.
         Mengenai hal, Al-Qusyairi berkata, “hal adalah makna yang datang pada kalbu secara tidak disengaja. Hal diperoleh tanpa daya dan upaya, baik dengan menari, bersedih hati, bersenang-senang, rasa tercekam, rasa rindu,, rasa gelisah, atau dengan daya dan upaya. Hal akan datang dengan sendirinya, sementara maqam dapat diperoleh dengan daya dan upaya. Orang yang memperoleh maqam dapat tetap dalam tingkatannya, sementara orang yang meraih hal justru akan mudah lepas dari dirinya.Ibid”[22]
          Perlu dicatat, antara maqam dan hal tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat dua sisi dalam satu mata uang. Ketrekaintan antar keduanya dapat dilihat dalam kenyataan bahwa maqam menjadi persyaratan  menuju Tuhan; bahwa dalam maqam akan ditemukan kehadiran hal. Sebaliknya, hal yang telah ditemukan dalam maqam akan mengantarkan seseorang untuk mendaki maqam-maqm selanjutnya.
          Sekedar contoh, seseorang yang tengah berada dalam maqam tpbat akan menemukan hal (perasaan) betapa indahnya bertobat dan betapa nikmatnya menyadari dosa-dosa dihadapan Tuhan. Persaan ini akan menjadi benteng kuat untuk tidak mengerjakan kembali dosa-dosa yang pernah  dilakukan.
 
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
           Hal terkadang datang pada diri seseorang dalam waktu yang cukup lama dan kadang-kadang hanya sekejap. Meskipun hal merupakan kondisi yang bersifat karunia (mawahib) namun seseorang yang ingin memperolehnya tetap harus melalui upaya dengan memperbanyak amal baik atau ibadah. Dalam konteks yang demikian dapat dikatakan bahwa ahwal dan maqamat adalah satu kesatuan, perbedaannya hanya ada dalam wilayah teoritis semata.
 B. Saran-Saran
Pada point ini penyusun mengharapkan pada para pembaca untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bila tasawuf merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa tasawuf adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran tasawuf.

DAFTAR PUSTAKA

Muhammad Hasyim, dialog antara tasawuf dan psikologi. Yogyakarta:Pustaka Pelajar. 2000.
Ahmad Athoullah , Diklat Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf. Serang:IAIN Sunan Gunung Jati.1985.
Jumantoro Totok , Kamus Ilmu Tasawuf . Amza. 2005.
Zainuddin, Kamus Tasawuf, Bandung:Pustaka Hidayah. 1998.       
 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf. Bandung:CV PUSTAKA SETIA.2010                                                                                                                                                                                                                                                                                      



[1] Hasyim Muhammad, dialog antara tasawuf dan psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.13.
[2] Ibid. hal.14
[3] Hasyim Muhammad, Dialog Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.14.
[4] Ibid.
[5] Ibid. hal.15.
[6] Athoullah Ahmad, Diklat Ilmu Akhlak dan Ilmu Tasawuf, Serang:IAIN Sunan Gunung Jati, 1985, hal.102.
[7] Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Tasawuf , Amza, 2005, hal.7.
[8] Zainuddin, Kamus Tasawuf, Bandung:Pustaka Hidayah, 1998, hal.185.
[9] Ibid.
[10] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[11] . Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47
[12] Ibid, hal.48.
[13] Ibid.48-49.
[14] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, hal.204.
[15] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47

[16] Ibid.51-52.
[17] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 204.
[18] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.47

[19] Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf dan Psikologi, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2000, hal.53

[20] Ibid.54
[21] Ibid. 57.
[22] Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung:CV PUSTAKA SETIA, 2010, hal. 199.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMUGA BERMAMFAAT