Sabtu, 01 Juni 2013

PENGERTIAN QIRA`AT

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang


Bangsa arab merupakan komunitas dari berbagai suku yang secara sporadic tersebar disepanjang  jazirah Arabian. Setiap suku itu mempunyai format dialek (lahjah) yang tipikal dan berbeda dengan suku-suku  lainnya. Disisi lain perbedaan-perbedaan dialek (lahjah) itu akhirnya membawa konsekuensi lahirnya bermacam-macam bacaan (qira’ah) dalam melafalkan al-qur’an. 
Lahirnya bermacam-macam qira’at itu sendiri dengan melihat gejala beragam  dialek yang sebenarnya bersifat dialek (natural) artinya fenomena yang tidak dapat dihindari lagi. Oleh karena itu rasulullah SAW, sendiri membenarkan pelafalan Al-qur’an dengan berbagai macam qira’at.

B. Rumusan Masalah

a.       Definisi Qira’at
b.      Macam-Macam Qira’at
c.       Perbedaan Qira’at

C. Tujuan Penelitian

a.    Untuk mengetahui definisi qira’at.
b.    Untuk mengetahui macam-macam qira’at.
c.    Untuk mengetahui perbedaan qira’at.


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Definisi Qira’at

Secara etimologi, term qira’at seakar dengan term al-qur’an, yaitu akar kata dari kata qara’a yang berarti tala (membaca). Term qira’ah merupakan bentuk  masdar (verbal noun) dari kata qara;a, yaitu artinya bacaan.[1]
Sedangkan secara termenologi, terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama, sehubungan dengan pengertian qira’at ini ditetapkan berdasarkan sanad-sanadnya sampai kepada rasulullah. Periode qurra’(ahli atau imam qiraat) yang mengajarkan bacaan al-qur’an kepada orang-orang menurut cara mereka masing-masing dengan berpedoman kepada masa para sahabat. Maka ada  beberapa definisi yang diintrodusir para ulama diantaranya sebagai berikut:

1.      Menurut Az-Zarkasyi:

إختلاف الفاظ الوحي المدكور فى كتا بة الحروف أو كيفيتهما من تخفيف وتشقيل وغيرها.


            Artinya:
           
            “Qira’at adalah perbedaan perbedaan (cara mengucapkan) lafadz-lafadz al-qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut,seperti takhfif (meringankan) tastqil (memberatkan),dan atau yang lainnya.[2]

2.      Menurut As-Shabuni:

مدهب من مدهب النطق فى القرأن يدهب به امام من الأئمة بأسا نيدها الى رسول الله صلى الله عليه وسلم.

Artinya:

“Qira’at adalah suatu madzhab pelafalan Al-Qur’an yang dianut salah seorang  imam berdasarkan sanad-sanad yang bersambung kepada rasul.[3]

 3.      Menurut Al-Qasthalani:

“Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat,I’rab,itsbat,fashl, dan washal yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.[4]

Dari definisi di atas, tampak bahwa qira’at al-qur’an itu berasal dari Nabi Saw. Melalui al-sima’ dan al-naql. Maksud dari al-sima’ disini sebagian ulama menjelaskan bahwa al-sima’ tersebut adalah qira’at yang diperoleh dengan cara langsung mendengar dari Nabi Saw. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu qira’at yang diperoleh melalui riwayat yang menyatak bahwa qira’at itu dibacakan Nabi Saw.
Selain itu, ada sebagian ulama yang mengaitkan definisi qira’at dengan madzhab atau imam qira’at tertentu, selaku pakar qira’at yang bersangkutan,dan atau yang mengembangkan serta mempopulerkannya.
Sehubungan dengan penjelasan ini, terdapat beberapa istilah tertentu dalam menisbatkan suatu qira’at al-qur’an kepada salah seorang imam qira’at dan kepada orang-orang sesudanya. Istila-istilah tersebut adalah sebagai berikut.[5] 
1.      القرأت :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang imam tertentu seperti, qira’at Nafi.
2.      الرواية :Suatu istilah, apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dan imamnya, seperti,riwayat Qalun dan Nafi’.
3.      الطريق:Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang perawi qira’at dariperawi lainnya,seperti Thariq Nasyit dan Qalun.
4.      الوجه :Suatu istilah,apabila qira’at al-qur’an dinisbatkan kepada salah seorang pembaca al-qur’an berdasarkan pilihannya terhadap versi qira’at tertentu.
Informasi tentang qira’at diperoleh melalui dua cara, yaitu melalui pendengaran (sima’) dan naql dari Nabi oleh para sahabat mengenau bacaan ayat-ayat al-qur’an, kemudian ditiru dan diikuti tabi’in dan generasi-generasi sesudanya hingga sekarang. Cara lain ialah melalui riwayat yang diperoleh melalui hadis-hadis yang disandarkan kepada Nabi atau sahabat-sahabatnya.

B.     Macam-Macam Qira’at

Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada beberapa macam, ada yang mutawatir,ahad dan syaz. Menurut mereka, qira’at mutawatir ialah qira’at yang tujuh, Sedangkan qira’at ahad ialah tiga qira’at yang menggenapkannya menjadi sepuluh qira’at para sahabat. Dan selain itu adalah qira’at syaz,dan ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa qira’at yang sepuluh dinamakan qira’at mutawatir karna yang menjadi pegangan   dalam hal ini baik dalam qira’at yang termasuk qira’at tujuh,qira’at sepuluh maaupun lainnya adalah dabit atau kaidah tentang qira’at yang shahih.
Menurut sebagian ulama, dabit atau kaidah qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
a.       Qira’at tersebut harus sesuai dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi,baik segi itu fasih maupun lebih fasih,sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad,bukan ra’yu (penalaran).
b.      Qira’at sesuai dengan salah satu  mushaf  usmani,meskipun hanya sekedar mendekati saja. Sebab, dalam penulisan mushaf-mushaf  itu para sahabat telah bersungguh-sungguh dalam membuat rasm (cara penulisan mushaf) sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at  yang mereka ketahui.
c.       Qira’at itu harus shahih sanadnya sebab qira’at merupakan sunnah  yang diikuti yang didasarkan pada keselamatan penukilan dan kesahihan riwayat.
Itulah syarat-syarat yang ditentukan dalam dabit bagi qira’at yang sahih. Apabila ke tiga syarat ini telah terpenuhi maka, qira’at tersebut adalah qira’at sahih. Dan bila salah satu syarat atau lebih tidak terpenuhi maka qira’at itu dinamakan qira’at yang lemah,syaz atau batil.
Yang mengherankan sebagian para ulama ialah bahwa sebagian ahli nahwu masih juga menyalahkan qira’ah sahih yang telah memenuhi syarat-syarat tersebut hanya semata-mata qira’at tersebut bertentangan dengaan kaidah-kaidah ilmu nahwu yang mereka jadikan tolak ukur  bagi kesahihan bahasa.Seharusnya qira’at yang sahih itu dijadika sebagai hakim atau pedoman bagi kaidah-kaidah nahwu dan kebahasaan,bukan sebaiknya kaidah ini dijadikan pedoman bagi al-qur’an. Hal ini karna al-qur’an adalah sumber pertama dan pokok pengambilan kaidah-kaidah bahasa, sedang qur’an sendiri didasarkan pada kesahihan penukilandan riwayat yang menjadi landasan pada qari’, bagaimana pun juga adanya, Ibnu Jaziri ketika memberikan komentar terhadap syarat pertama qira’at yang sahih ini menegaskan,” kata-kata dalam kaidah diatas meskipun dalam satu segi, yang kami maksudkan satu segi adalah satu segi dari ilmu nahwu. Baik segi itu fasih maupun lebih fasih,disepakati maupun diperselisihkan.
Berkata Abu ‘Amr ad-Dani, ” para imam qira’at tidak memperlakukan sedikitpun huruf-huruf al-qur’an. Menurut aturan yang paling populer dalam dunia     kebasaan dan paling sesuai dengan kaidah bahasa arab, tetapi menurut yang paling mantap (tegas) dan sahih dalam riwayat dan penukilan adalah aturan kebahasaan dan popularitas bahasa tidak menolak dan mengingkarinya. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti dan wajib diterima seutuhnya serta dijadikan sumber acuan. “Zaid bin tsabit berkata, “ Qira’at adalah ssunnah muttabi’ah  yaitu sunnah yang harus diikuti.”[6] Maksud perkataan tersebut ialah bahwa mengikuti orang-orang sebelum kita dalam hal qiraa’at al-qur’an merupakan sunnah atau tradisi yang harus diikuti,tidak boleh menyalahi qira’at-qira’at yang masyhur meskipun tidak berlaku dalam bahasa arab.”
Nawawi dalam syarah al-muhazzab berkata, “ Qira’at yang syaz tidak boleh dibaca baik didalam maupun diluar shalat,karna ia bukan al-qur’an. Qur’an hanya ditetapkan dengan sanad yang mutawatir , sedang qira’at yang syaz tidak mutawatir. Seandainya seorang  menyalahi pendapat ini dan membaca qira’at yang syaz, maka ia harus di ingkari bacaannya baik bacaan itu di dalam maupun diluar shalat. Para fuqaha’ Baghdad sepakat bahwa orang yang membaca qur’an dengan qira’at yang syaz harus disuruh bertaubat. Bahkan Ibn’ Abdil Barr menukilkan ijma’ kaum muslimin bahwa qur’an tidak boleh dibaca dengan qira’at yang syaz dan juga tidak sah shalat dibelakang orang yang membaca qur’an dengan qira’at syaz itu.” 

C.    Perbedaan Qira’at
Masalah-masalah yang terkait dengan qira’at di atas berhubungan dengan perbedaan-perbedaan qira’at. Jika diteliti, perbedaan-perbedaan itu dapat terjadi pertama, pada tulisan itu sendiri, seperti: 1) perbedaan i’rab, 2) perbedaan harakat baik pada isim maupun fi’il, 3) perbedaan huruf-huruf pada kata, 4) perbedaan kata-kata dan bentuk tulisan, 5) perbedaan dalam mendahulukan dan mengakhirkan, 6) perbedaan dalam penambahan dan pengurangan. Kedua, perbedaan cara atau aturan membacanya, seperti: 1) perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran madd, takhfif, tafkhim, imalah, isymam dan lain-lain, 2) perbedaan tempat waqaf
Perbedaan qira’at dalam al-Qur’an ini adakalanya berpengaruh pada perbedaan makna yang dikandung dan adakalanya tidak. Bahkan Khalid Abd
 al-Rahman al-‘Ak lebih tegas menyatakan bahwa perbedaan qira’at ada yang berpengaruh pada tafsir –bukan hanya makna– dan ada yang tidak. Ia menjelaskan bahwa yang tidak berpengaruh pada tafsir yaitu perbedaan pengucapan huruf dan harakat seperti takaran mad, takhfif, imalah, dsb. Sedangkan yang berpengaruh pada    tafsir    terbagi dua,            yaitu:

1.Perbedaan dalam huruf atau kata, seperti pada : مَالَكَ - مََلَكَ
 
2. Perbedaan dalam harakat fi’il, seperti pada يَصَدُّوْنَ – يَصُدَّوْنَ dan يََطَّهَّرْنَ - يَطْهُرْنَ
Pada beberapa contoh, pembagian ini memang telah memadai. Namun, bila kita menemui adanya kedua jenis perbedaan di atas pada ayat-ayat lain namun tidak ditemui akibat dari tesis yang dimaksud, hal ini menandakan bahwa kesimpulan al-‘Ak belum finish.
Misalnya saja kataكُفوٌ ُا yang mempunyai versi qira’at lain seperti - كُفْؤًا – كًفًؤ ketiganya mempunyai makna sama yaitu: setara atau sebanding. Ini berart perbedaan huruf atau kata tidak selamanya berpengaruh pada tafsir.
Ibrahim Al-Abyari mengemukakan bahwa ada tiga hal yang terkait dengan masalah qira’at al-Qur’an, yaitu: pertama, yang berhubungan dengan huruf-huruf Arab atau bahasanya. Kedua, yang berhubungan dengan penulisan mushhaf yang dibiarkan kosong tanpa titik dan tanpa syakal sampai masa Abdul Malik yaitu ketika Hajjaj menyuruh kepada dua orang yaitu Yahya bin Ya’mar dan Hasan Basri untuk memberi titik dan harakat, lalu keduanya melaksanakannya. Ketiga, yaitu sesuatu yang berhubungan dengan penempatan kata di tempat kata yang lain atau mendahulukan kata atas kata yang lain atau menambah atau mengurangi.
Masalah pertama terkait dengan masalah imalah, isymam, tarqiq, tafkhim, dan lain sebagainya. Perbedaan ini terjadi karena perbedaan pelafalan kalimat oleh kabilah-kabilah Arab yang masing-masing tidak bisa mengucapkan seperti yang diucapkan oleh kabilah lainnya. Menurut hemat penulis, perbedaan ini dapat terjadi baik sebelum dibukukannya al-Qur’an dan dibakukannya tanda baca (syakal ) maupaun sesudahnya, karena masalah ini terkait pada kebiasaan yang sulit diubah.
 Masalah kedua terkait pada penentuan i’rab dan standarisasi tulisan (mushhaf) al-Qur’an. Seperti dikatakan oleh Nasaruddin Umar bahwa dalam prosesstandarisasi rasm al-Qur’an ditempuh beberapa tahapan. Pertama, ketika al Qur’an masihberangsur-angsur diturunkan. Setiap ayat yang turun langsung disusun Nabimelalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui petunjuk Jibril, kemudian disebarluaskan oleh Nabi melalui tadarrusan atau bacaan dalam shalat di depan sahabat. Sampai di sini belum ada masalah, tetapi setelah dunia Islam melebar ke wilayah-wilayah non-Arab mulailah muncul masalah, karena tidak semua umat Islam dapat membaca al-Qur’an tanpa tanda huruf dan tanda baca. Pemberian tanda baca (syakl) pertama kali diadakan pada masa pemerintahan Mu’awiyah ibn Abi Sufyan (661-680M), terutama ketika Ziyad ibn Samiyyah yang menjabat Gubernur Bashrah, menyaksikan kekeliruan bacaan dalam masyarakat terhadap Q.S. al-Taubah (3). Sebelumnya, menurut hemat penulis, penentuan i’rab banyak ditentukan oleh ijtihad masing-masing pembaca atau menurut riwayat bacaan yang sampai.
Sedangkan masalah ketiga, penulis cenderung mengatakan bahwa peran periwayatan bacaan –secara lisan ke lisan sampai kepada Nabi—mempunyai kontribusi yang sangat besar. Kita tahu bahwa penyampaian al-Qur’an pada masa-masa awal hanya lewat periwayatan sampai al-Qur’an dihimpun dan diverifikasi dari periwayatan-periwayatan yang “tidak memenuhi syarat” Sejauh periwayatan itu shahih dan mutawatir maka, meskipun berbeda dengan mushhaf Utsmani, tetap diakui keabsahannya.

BAB III
PENUTUP
 A. Kesimpulan         
Sebagaimana lazimnya ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang sama pun dapat ditafsirkan secara berbeda, terlebih lagi ayat-ayat al-Qur’an dalam qira’at yang berbeda. Hanya saja pada segi-segi tertentu perbedaan qira’at tidak mempunyai pengaruh apa-apa terhadap penafsiran. Sebagai kesimpulan akhir baik diulas kembali di sini bahwa perbedaan qira’at pada al-Qur’an adakalanya menyebabkan terjadinya perbedaan makna dan adakalanya tidak. Perbedaan makna pada qira’at itu akan berpengaruh terhadap penafsiran. Sebaliknya, tidak adanya perbedaan makna tidak akan berpengaruh pada penafsiran.
 B. Saran-Saran
Bila qira’at merupakan sebuah ilmu berarti telah jelas juga bahwa al-qur’an adalah cahaya yang akan menerangi kita dalam kegelapan ” al- ilm nuurun ” dan perlu kita lestarikan dalam upaya merehabilitasi peradaban yang telah lepas landas dari nilai riil dan pokok ajaran al-qur’an.
Pada point di atas penyusun mengharapkan pada para pembaca        untuk senantiasa meningkatkan daya serta upaya untuk selalu membaca dan membaca, karena disamping membaca adalah sebuah peroses pembendaharaan pengetahuan, membaca juga merupakan terapi  atas keterpurukan yang kita sandang saat ini.
Bagi para pembaca umumnya, jangan merasa malas untuk membaca, apapun itu, karena membaca adalah pengiring pertma menuju ridho-Nya.
 

DAFTAR PUSTAKA


Abidin, Zainal, Drs, seluk-beluk al-qur’an, Jakarta: Rineka cipt,92.
Ismail,Sya’ban Muhammad, Dr., Mengenal qira’at al-qur’an,semarang: Bina Utama,1993.
Mohammad Nor Ichwan, Studi Ilmu-Ilmu Al-qur’an,Semarang Rasial Media group 2008.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-qur’an, Bulan-Bintang,Jakarta,1972,hlm,145.
Anwar, Rosihon, prof, Dr, Ulum Al-Qur’an, cv Pustaka setia 2010.
Al-Qaththan, Manna’ Khalil, Mabahis fi’ulum al-qur’an. Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa, 2012.


[1] Lihat,manna al-qaththan,mabahis fi’ulum al-qur’an,(T,tp:t.pn,1973),cet ke-3,h,170
[2] Badr Ad-din muham bin ‘abdillah Az-zarkasyi, Al-Burhan fi’ulum al-qur’an,jilid I,hlm 395.
[3] Muhammad’ Ali Al-Shabuni,Al-Tibyan fi’ulum Al-qur’an.Maktabah Al-Ghazali,Damaskus,1390.hlm,223.
[4] Rujdi Ali Mahmud,”Ilmu Qira’ah”,makalah,1984
[5] Abd hadi al-fadli,op,cit.hlm,84.
[6] Hadis sa’id bin Mansur  dalam sunannya.

4 komentar:

SEMUGA BERMAMFAAT