Minggu, 18 September 2016

riwayat Ibn Hazm

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Ibn Hazm merupakan salah satu tokoh pakar Ushul Fiqh. Adapun pola pikirnya adalah tentang Ad-dalil yang mana itu hanya dimiliki oleh madzhab dhahiri. Tentu hal ini merupakan penengah dari madzhab sebelumnya.
            Mengenai pola pikirnya, ibnu Hazm dipengaruhi oleh beberapa madzhab, namun ia lebih condong kepada madzhab Syafi’i. Namun, ia juga pernah belajar kepada imam imam yang lain.
            Penting untuk mengetahui bagaimana Ibnu Hazm membuat beberapa pendapat dan juga termasuk Istinbath Hukum. Sehingga nantinya bisa diperoleh beberapa statement baru tentang hukum islam.

B.  Rumusan Masalah
1.      Bagaimana riwayat Ibn Hazm?
2.      Bagaimana pendidikan Ibn Hazm?
3.      Bagaimana cara istinbat hukum Ibn Hazm?
4.      Apa inti pokok pemikiran Ibn Hazm?

C.  Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui riwayat Ibn Hazm.
2.      Untuk mengetahui pendidikan Ibn Hazm.
3.      Untuk mengetahui cara istinbat hukum Ibn Hazm.
4.      Untuk mengetahui pokok pemikiran Ibn Hazm.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Riwayat Ibnu Hazm
            Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Shalih Ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik, ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia dilahirkan di Cordoba, Spanyol  pada akhir Ramadhān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya, Yazid, dia  adalah seorang menteri pada masa pemerintahan khalifah al-Mansûr dan puteranya al-Mudzaffar, secara garis keturunan, keluarga Hazm sebenarnya berasal dari Persia.[1]
            Cordoba pada saat itu merupakan pusat ilmu-ilmu Islam dibelahan barat dunia Islam, dan disitulah orang Eropa banyak menuntut Ilmu. Orang tuannya adalah salah seorang pejabat tinggi di Andalusia dibawah kekuasaan Bani Ummayah. Kemudian diberhentikan  dari jabatannya  dan akhirnya pindah dari kota Cordoba. Walaupun demikian, keluarga Ibnu Hazm tetap merupakan keluarga yang berkecukupan.[2]
            Ibnu Hazm hidup dalam dua kekuasaan Islam di Andalus, yaitu pada akhir kekuasaan dinasti Ummayah dan zaman Muluk al-Thawa’if. Andalus mulai dikuasai islam pada zaman al-wahid dari dinasti umayyah(705-715 M). Penyerangan ke adalus pertama kali dipimpin oleh thafif ibn malik (711 M). Pada tahun yang sama musa ibn nusyr (Afrika Gubenur Utara) mengutus thariq ibn ziyad untuk merebut andalus dari tangan raja roderick. Musa ibn nutsyr diri akhirnya memimpin penyerangan ke andalus. setelah andalus berhasil dikuasai, abdul aziz (putra ibn nusyr) diangkat menjadi wali andalus. Sehingga, secara resmi andalus menjadi salah satu kekuasaan umayyah.
            Dengan kekuasaan dinasti umayyah dilalui oleh ibn khazm sampai dinasti berakhir (1031 M). ia meninggal tahun 164 M. Ketika muluk al thawa’if berkuasa di andalus. Dengan demikian, menurut atang abd hakim (1997:61), ibn khazm hidup pada zaman dinasti umayyah selama 37 tahun (994-1031 M), Dan selama 32 tahun hidup pada zaman muluk al-thawa’if.[3]

B.     Pendidikan Ibn Hazm
            Ibn Khazm sejak kecil telah belajar menghafal al-qur’an, hadits, dan khot (kaligrafi). Mendalami al-quran dan al-hadits terus berlangsung sampai beliau dewasa dan mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam hal-hal yag berhubungan dengan al-qur’an dan al-hadits. Sesudah itu, beliau mempelajari fiqih madzhab maliki, pada waktu itu telah dianut di andalusia. Beliau mempelajari al-muwatho dari maliki, selanjutnya mempelajari juga madhab-madhab syafi’i, hanafi, dan dhahiri. Selain itu beliau juga mendalami bahasa dan falsafah. Akan tetapi pada akhirnya beliau menganut pikiran-pikiran dhahiri yang diterima dari gurunya mas’ud bin sulaiman.
            Ibn Hazm adalah seorang ulama yang sangat kritis, mempunyai daya ingat yang kuat dan rasa seni yang tinggi. Beliau adalah ulama yang sangat kokoh berpegang kepada dhahirinya al-qur’an dan as-sunnah sebagai cerminan dari keimanannya, ketaqwaannya, dan keikhlasannya. Pikiran-pikiran ibn khazm banyak menarik pehatian pemuda-pemuda seusianya, oleh karena itu tidak mengherankan apabila pengikutnya banyak dari kaula muda.[4]

C.  Cara Istinbath Hukum Ibn Hazm
            Ibn Hazm, dalam membangun teori hukumnya ia berangkat dari paradigma bahwa masalah agama telah terdapat aturannya dalam teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia mengatakan “inn al-din kullahu mansus”. Sejaalan dengan itu ia merumuskan dasar-dasar (al-Ushul) hukum syara’ hanyalah empat, yaitu: Al-Qur’an, Hadits, ijma’, ad-dalil. Dengan empat dasar inilah hukum-hukum agama dapat diketahui, dan keempat dasar atau sumber itu semua kembali kepada nash.
            Di dalam Al-Qur’an, Ibnu Hazm berkata bahwa ada kewajiban mematuhi semua perintah Allah dan Nabi-Nya serta aturan-aturan yang tercapai padanya kesepakatan semua ulama’ (ijma’). Untuk mengetahui hukum agama Ibn Hazm tidak lain menggunakan keempat sumber tersebut, yaiyu; Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan ad-dalil.[5]

1.      Al-Qur’an
            Al-Qur’an merupakan kitab yang tertulis dalam mushaf dan telah tersebar keseluruh alam itu adalah amanah Allah kepada manusia yang mesti di akui , di ikuti serta menjadi pedoman dan dasar pijakan dalam kehidupannya (al-ash-al-marju’ ilayh). Keyakinan serupa ini telah menjadi anutan seluruh kaum muslimin, sebab tanpa kepercayaan yang demikian, tak seorang pun dapat menjadi muslim yang nominal. Oleh karena itu, Al-Qur’an perlu dijelaskan dengan sebaik-baiknya.
            Bagi Ibn Hazm Al-Qur’an itu telah jelas semuanya, hal ini didasari oleh keyakinan bahwa Allah tidak akan mempersulit hamba-Nya (Al-Baqarah: 22). Penjelasan itu dilakukan oleh Allah SWT sendiri sebagaimana yang telah difirmankan dalam surat Al-Qiyamah: 17-19

sesunngguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didalammu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaanya itu. Kemudian, sesunggunya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
            Tidak ada yang samar-samar didalamnya, sebab telah jelas dengan sendirnya atau dijelaskan oleh Nabi Saw., sesuai dengan kerasulannya. Karena itu dasar pemikran mengenai metode ini dalam ilmu Ushul al-fiqh adalah ayat-ayat yang menjelaskan fungsi Nabi Saw terhadap Al-Qur’an. Berdasarkan ayta tersebut para pengkaji Al-Qur’an, termasuk Ibn Hazm menemukan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang jelas dan mudah ditangkap pengertianny, sehingga tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (al-bayan) lagi baik didalam maupun diluar, dan ada yang masih kurang terang pengertiannya. Bagi ayat yang termasuk katagori kedua ini penjelasannya dapat berupa ayat lain dalam Al-Qur’an itu sendiri dan atau berupa penjelasan dari Nabi dalam bentuk hadits.

2.      As-sunnah
            Ibn Hazm berpendapat bahwa Al-Qur’an dan as-sunnah adalah sama-sama wahyu Allah. Ia merujuk pada Al-Qur’an Q.S. An-Najm : 3-4 sebagai dalilnya, dan atas dasar itu ia memformulasikan bahwa itu terbagi menjadi dua, pertama, wahyu yang dibaca (wahyu watluw) dan susunan redaksinya mengandung mukjizat, itulah Al-Qur’an. Kedua, wahyu yang tidak dibacakan dan susunan redaksinya tidak berbentuk mukjizat (wahy marwi), yaitu berita (al-khabar) yang berasl dari Nabi. Dengan demikian, sunnah (al-khabar) itu hakikatnya adalah wahyu Allah juga, menrut Ibn Hazm kita harus mematuhinya seperti halnya Al-Qur’an.
            As-sunnah mempunyai peranan dan posisi yang penting sebagai sumber syari’ah. Posisi tersebut sejalan dengan fungsi Nabi Saw. Sebagai penjelasannya dalam Al-Qur’an (Q.S. An-Nahl: 44). Demikian pula, karena sunnah juga wahyu seperti halnya Al-Qur’an, maka dari itu antar keduanya (selama sunnah itu shahih) selalu saja berkesinambungan kandungan dengan Al-Qur’an dan tidak akan terjadi kontradiksi  (ta’arud) antara keduanya.
            Ibn Hazm juga berpendapat bahwa sunnah itu mencakup segala perkataan, perbuatan, dan persetujan (taqrir) Nabi Saw. Begitu pula menyangkut dalalahnya, pandangannya secara umum sama dengan pakar ushul fiqh yang lain.
            Menurut Ibn Hazm, yang memiliki efek imperatif hanyalah yang berbentuk ucapan (hadits qawli), sedangkan yang berupa perbuatan Nabi (hadits fi’li) hanya berfungsi sebagai model perilaku yang baik untuk ditiru (uswat/ qudwat hasanah). Hukum mengikutinya tidaklah wajib, kecuali sunnah fi’liyah itu berfungsi sebagai “peragaa” terhadaap sunnah qawliyah. Berkenaan dengan persetujuan Nabiterhadap tindakan sahabat yang diketahuinya itu hanya menunjukkan mubah saja. Oleh karena itu, tidak wajib mengikuti perbuatan Nabi Saw, tetapi boleh mengikuti sebagai suri tauladan.

3.      Ijma’
            Sumber hukum ketiga yang di akui Ibn Hazm adalah ijma’. Pandangannya tentang ijma’, kelihatannya merupakan respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan di antara madzab-madzab awal yang mengacu pada ijma’, yang mana pada ujungnya hal ini mengarahkan kepada “pemaksaan” mengikuti suatu pendapat, dengan mengatakan bahwa telah tercapai ijma’ mengenai masalah tersebut.s
            Ibn Hazm mendefinisikan ijma’  menurut bahasa sebagai “kesepakatan anatara dua orang atau lebih”. Menurut terminologi adalah:
ما تيقين ان خميع الصحا بة قا لوه ودا نوا به عن نبيهم
Apa saja yang diyakini bahwa semua sahabat mengatakannya dan mereka menerimanya dari Nabi
            Dari hasil penelitian secara ringkas dapat dikatakan bahwa dalam menetapkan dan menerima ijma’ sebagai sumber hukum, Ibn Hazm mempunyai dua kriteria. Pertama, ia membatasi partisipasinya pada sahabat saja, dan kedua, ia mempersempit lingkupnya hanya pada masalah-masalah yang didasarkan pada nash. Sebagai diketahui pendekatannya ini berbeda dengan yang di anut mayoritas ulama ushul al-fiqh, yang menyatakan bahwa partisipan ijma’ itu ialah ulama/mujtahid (termasuk pasca sahabat) dan lapangan pun tidak terikat pada nash.[6]
            Dalam kitabnya yang berjudul maratib al-ijma’. Ijma’ Ibn Hazm mengatakan:
“sebagian menjadikan hal yang bukan ijma’ menjadi ijma’. Sebagian menganggap suara mayoritas sebagai ijma’. Sebagian lainnyamenjadikan hal yang tampak menjadi titik mufakat ijma’ (walaupun mereka tidan mengetahui secara lebih jauh)”. Sebagian lainnya menjadikan kata sahabat lainnya (walaupu kalangan tabi’in mempunyai pandangan yang berbeda) sebagai ijma’. Bahkan sebagian menjadikan perkataan sahabat yang tidak dipertentangkan oleh sesamanya (walaupun tidak populer) sebagai ijma’.
Pandangan-pandangan ini tidak dapat dapat dibenarkan (walaupun kritikan tersebut tidak bisa disampaikan secara lebih banyak). Bukti kerancauanpan pandangan ini adalah mereka tampak meninggalkan yang mereka sebut dengan ijma’ dalam permasalahan yang dihadapi. perbuatan mereka ini semakin memperkuat pandanagna kami bahwa ini hanyalah “ijma’ mereka”. Ijma’ in dilakukan untuk menjdiak dalil bagi pendapat mereka ketika dalam keadaan terdesak
Sebagian lainnya berpendapat, ijma’ yang diperhitungkan adalah ijma’nya para sahabat,. Sebagian lainnya berpendapat, disetiap masa terdapat yang namanya ijma’, asalkan dimasa sebelumnya tidak ada ijma’ yang bertentangan dengannya. Semantara sebagian lainnya berpendapat, ijma’ yang benar adalah yang terjadi di masa tertentu dan tidak ad yang menyalahi ijma’ ini”.[7]

4.      Ad-Dalil
Mengawali tentang ad-dalil ini Ibn Hazm langsung menegaskan bahwa ad-dalil yang dikenal dalam pemikran zahiri ini berbeda dengan qiya, dan ia bukanlah tambahan terhadap nash atau sesuatu yang berdiri sendiri diluar nash. Ad-dalil itu implisit di dalam nash itu sendiri. Penegasan itu sebagai reaksi atas prasangka dari kelompok yang menerima qiyas ibn Hazm berkata:
“didasari kebodohannya, mereka mengatakan bahwa pendapat kami keluar dari bingkai nash dan ijma’. Ada yang mengatakan bahwa qiyas sama dengan dalil, hal itu sungguh merupakan prasangka mereka yang sangat keliru”.[8]
            Dalam operasionalisasi ad-dalil ini mendapatkan suatu kesimpulan hukum dari nash, ulama zahiri membagi ad-dalil yang diambil dari nash dan ijma’ tersebut sebagai berikut:
a.       Dalil yang di ambil dari nash ada 7 macam
b.      Dali  yang di ambil dari ijma’ ada 4 macam
Ad-Dalil yang diambil dari nash , yaitu:
  1.    Sutu nash mengandung dua muqaddimah yang menghasilkan suatu kesimpulan hukum (natijah)secara implisit.
  2.  Penerapan keumuman fi’il syarat terhadap seluruh cakapanya, apabila karakteristiknya melekat pad obyeknya.
  3. Ketentuanketentua hukum itu tertolak seluruhnya kecuali satu, maka benarlah yang atu tersebut. Seandainya tidak dinyatakan dengan tegas hukumnya wajib atau haram, maka tetalah hukunya mubah, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.
  4. Suatu proposisi yang mengandung penetapan bahwa yang disebut lebih dulu, maka ia lebih baik dari yang berikutnya meskipun tidak dissebut secara tekstual
  5. Suatu pemahaman yang diperoleh dari teks sebagai konsekuensi logis atau yang dikenal dengan istilah ask al-qadaya.
  6.  Lafadz yang mengandung pengertian yang banyak

            Ad-Dalil yang diambil dari ijma’, yaitu:
  1.  Sesuatu yang ditetapkan hukumnya dengan nash, tetap berlaku sampai ada yang merubahnya.
  2. Mendapatkan batasan minimal dalam masalah hukum yang diperselisihkan ukuran atau jumlahny
  3. Kesepakatan untuk meninggalkan hukum yang masih ikhtilaf. Adanya ikhtilaf iti berarti ketentuan hukum yang masih ikhtilaf tersebut tidak tercapai ijma’. Kesepakatan untuk meninggalkan pendapat yang masih ikhtilaf merupakan bukti batalnya ijma’.
  4. Hukum yang berlaku pada sebagian umat, diberlakukan juga pada seluruh umat selama tidak ada pengecualian.[9]
        Pemikiran Ibnu Hazm
            Dalam pemikiran Ibn Hazm, apabila analisis Uways yang mengakan bahwa konsep al-zhahir tersebut sudah demikian jelas, pengertian yang dimaksudkan ialah semata-mata dari bahasa (dhahirul lughah). Jadi dhahir adalah sinonim dari kata al wadih, yaitu pemahaman yang langsung diperoleh setelah mendengar al-lafz atau disebut juga dengan muthlaq al-lughah. Hipotesis ini dididasarkan pada pernyataan Ibn Hazm bahwa “orang yang memalingkan arti apa yang tersurat tanpa dalil berupa nash atau ijma’, maka hal tersebut mengingkari adanya penjelasan didalamnya, dan termasuk pemutar balikan arti wahyu Allah kepada Nabi Muhammad”. Sungguh hal ini suatu dosa besar.
            Dari ungkapan di atas jelas bahwa yang dimaksud dengan dhahir, layaknya orang berbicara tiada lain dari kata-kata (al-lafz) yang di ucapkan sebagai pengertian dan tujuan yang diketahui. Sebab kalau setiap orang yang berbicara yang di anggap maksudnya lain dari pada yang di ucapkannya, bagaimana mungkin komunikasinya dapat terjadi dengan orang lain. dalam bukunya yang lain ditemukan pula ucapannya bahwa ajaran agam islam ini semuanya telah jelas tidak ad rahasia yang tersembunyi. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, semuanya telah dijelaskan dan tidak ada satu ayat pun yang disembunyikan serta diterangkan. Sebab apabila itu terjadi maka Nabi Mahammad dikatakan belum menyampaikan risalah. Untuk mendukung pendapatnya, ia merujuk ayat-ayat Al-Qur’an surat as-syu’ara’, ayat 193-195, Q.S. Ibrahim: 4, Q.S. Al-Maidah: 13 dan Al-Angkabut: 51.
            Ibn Hazm sampai pada kesimpulan bahwa seluruh masalah bahwa seluruh masalah yang terjadi di alam telah tersedia ketentuan  hukumnya didalam nash (Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’). Nash yang telah sempurna dipahami apa adanya sesuai dengan bahasa atau tekstual (zahir)-nya.[10]



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
            Nama lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn Ghâlib ibn Shalih Ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab klasik, ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia dilahirkan di Cordoba, Spanyol  pada akhir Ramadhān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan.
            Ibn Hazm sejak kecil telah belajar menghafal al-qur’an, hadits, dan khot (kaligrafi). Mendalami al-quran dan al-hadits terus berlangsung sampai beliau dewasa dan mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam hal-hal yag berhubungan dengan al-qur’an dan al-hadits
            Dalam menentukan hukum Ibn Hazm menggunakan Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan ad-dalil.
            Dalam pemikirannya ia memakai dhahirun nash dan hadits, karena Al-qur’an telah menjelaskan beberapa hukum dengan jelas dan tidak menyusahkan hambanya. Sehingga, Al-Qur’an tersebut mudah dimengerti.



DAFTAR PUSTAKA
  • Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: ROSDA, 2001, Hlm:149
  •   Djazuli.  Ilmu Fiqih”penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum”. Jakaerta: Kencna, 2005
  •  Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam pembentukan Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Belukar, 2009
  •   Jamal Al-Banna, Manifesto Fiqih Baru, Jakarta: Erlangga, 1997





[1] . Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: ROSDA, 2001), Hlm:149
[2] . Djazuli, Ilmu Fiqih”penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum”, (Jakaerta: Kencna, 2005), Hlm:135
[3] . Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan, Hlm: 149-150
[4] . Djazuli, Ilmu Fiqih, Hlm:
[5] . Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam pembentukan Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Belukar, 2009), Hlm99-100
[6] . Amri Siregar, Ibnu Hazm Hlm: 123-124
[7] . Jamal Al-Banna, Manifesto Fiqih Baru, (Jakarta: Erlangga, 1997), Hlm: 333-334
[8] . Amri Siregar, Ibnu Hazm, Hlm: 129-130
[9] . Amri Siregar, Ibnu Hazm, Hlm: 130-134
[10] . Amri Siregar, Ibnu Hazm, Hlm: 59-61

1 komentar:

  1. Casinos Near Harrah's Casino and Racetrack - Mapyro
    A map showing casinos and racetracks 충주 출장안마 located near 강릉 출장샵 Harrah's Casino and 하남 출장샵 Racetrack 울산광역 출장샵 in 논산 출장샵 Biloxi, MS.

    BalasHapus

SEMUGA BERMAMFAAT