BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ibn Hazm
merupakan salah satu tokoh pakar Ushul Fiqh. Adapun pola pikirnya adalah
tentang Ad-dalil yang mana itu hanya dimiliki oleh madzhab dhahiri. Tentu hal
ini merupakan penengah dari madzhab sebelumnya.
Mengenai
pola pikirnya, ibnu Hazm dipengaruhi oleh beberapa madzhab, namun ia lebih
condong kepada madzhab Syafi’i. Namun, ia juga pernah belajar kepada imam imam
yang lain.
Penting
untuk mengetahui bagaimana Ibnu Hazm membuat beberapa pendapat dan juga termasuk
Istinbath Hukum. Sehingga nantinya bisa diperoleh beberapa statement baru
tentang hukum islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana riwayat Ibn Hazm?
2. Bagaimana pendidikan Ibn Hazm?
3. Bagaimana cara istinbat hukum Ibn
Hazm?
4. Apa inti pokok pemikiran Ibn Hazm?
C.
Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui riwayat Ibn Hazm.
2. Untuk mengetahui pendidikan Ibn
Hazm.
3. Untuk mengetahui cara istinbat hukum
Ibn Hazm.
4. Untuk mengetahui pokok pemikiran Ibn
Hazm.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Ibnu Hazm
Nama
lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn
Ghâlib ibn Shalih Ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab
klasik, ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia dilahirkan di Cordoba,
Spanyol pada akhir Ramadhān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal
dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan. Ayahnya, Yazid, dia adalah seorang menteri pada masa pemerintahan
khalifah al-Mansûr dan puteranya al-Mudzaffar, secara garis keturunan, keluarga Hazm
sebenarnya berasal dari Persia.[1]
Cordoba pada saat itu merupakan
pusat ilmu-ilmu Islam dibelahan barat dunia Islam, dan disitulah orang Eropa
banyak menuntut Ilmu. Orang tuannya adalah salah seorang pejabat tinggi di
Andalusia dibawah kekuasaan Bani Ummayah. Kemudian diberhentikan dari jabatannya dan akhirnya pindah dari kota Cordoba.
Walaupun demikian, keluarga Ibnu Hazm tetap merupakan keluarga yang
berkecukupan.[2]
Ibnu Hazm hidup dalam dua kekuasaan
Islam di Andalus, yaitu pada akhir kekuasaan dinasti Ummayah dan zaman Muluk
al-Thawa’if. Andalus mulai dikuasai islam pada zaman al-wahid dari dinasti
umayyah(705-715 M). Penyerangan ke adalus pertama kali dipimpin oleh thafif ibn
malik (711 M). Pada tahun yang sama musa ibn nusyr (Afrika Gubenur Utara)
mengutus thariq ibn ziyad untuk merebut andalus dari tangan raja roderick. Musa
ibn nutsyr diri akhirnya memimpin penyerangan ke andalus. setelah andalus
berhasil dikuasai, abdul aziz (putra ibn nusyr) diangkat menjadi wali andalus.
Sehingga, secara resmi andalus menjadi salah satu kekuasaan umayyah.
Dengan kekuasaan dinasti umayyah
dilalui oleh ibn khazm sampai dinasti berakhir (1031 M). ia meninggal tahun 164
M. Ketika muluk al thawa’if berkuasa di andalus. Dengan demikian, menurut atang
abd hakim (1997:61), ibn khazm hidup pada zaman dinasti umayyah selama 37 tahun
(994-1031 M), Dan selama 32 tahun hidup pada zaman muluk al-thawa’if.[3]
B. Pendidikan
Ibn Hazm
Ibn Khazm sejak kecil telah belajar
menghafal al-qur’an, hadits, dan khot (kaligrafi). Mendalami al-quran dan
al-hadits terus berlangsung sampai beliau dewasa dan mencapai tingkat yang
sangat tinggi dalam hal-hal yag berhubungan dengan al-qur’an dan al-hadits.
Sesudah itu, beliau mempelajari fiqih madzhab maliki, pada waktu itu telah
dianut di andalusia. Beliau mempelajari al-muwatho dari maliki, selanjutnya
mempelajari juga madhab-madhab syafi’i, hanafi, dan dhahiri. Selain itu beliau
juga mendalami bahasa dan falsafah. Akan tetapi pada akhirnya beliau menganut
pikiran-pikiran dhahiri yang diterima dari gurunya mas’ud bin sulaiman.
Ibn Hazm adalah seorang ulama yang
sangat kritis, mempunyai daya ingat yang kuat dan rasa seni yang tinggi. Beliau
adalah ulama yang sangat kokoh berpegang kepada dhahirinya al-qur’an dan
as-sunnah sebagai cerminan dari keimanannya, ketaqwaannya, dan keikhlasannya.
Pikiran-pikiran ibn khazm banyak menarik pehatian pemuda-pemuda seusianya, oleh
karena itu tidak mengherankan apabila pengikutnya banyak dari kaula muda.[4]
C. Cara Istinbath Hukum Ibn Hazm
Ibn Hazm, dalam membangun teori
hukumnya ia berangkat dari paradigma bahwa masalah agama telah terdapat
aturannya dalam teks-teks Al-Qur’an dan As-Sunnah. Ia mengatakan “inn al-din
kullahu mansus”. Sejaalan dengan itu ia merumuskan dasar-dasar (al-Ushul) hukum
syara’ hanyalah empat, yaitu: Al-Qur’an, Hadits, ijma’, ad-dalil. Dengan empat
dasar inilah hukum-hukum agama dapat diketahui, dan keempat dasar atau sumber
itu semua kembali kepada nash.
Di dalam Al-Qur’an, Ibnu Hazm
berkata bahwa ada kewajiban mematuhi semua perintah Allah dan Nabi-Nya serta
aturan-aturan yang tercapai padanya kesepakatan semua ulama’ (ijma’). Untuk
mengetahui hukum agama Ibn Hazm tidak lain menggunakan keempat sumber tersebut,
yaiyu; Al-Qur’an, hadits, ijma’ dan ad-dalil.[5]
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan kitab yang
tertulis dalam mushaf dan telah tersebar keseluruh alam itu adalah amanah Allah
kepada manusia yang mesti di akui , di ikuti serta menjadi pedoman dan dasar
pijakan dalam kehidupannya (al-ash-al-marju’ ilayh). Keyakinan serupa ini telah
menjadi anutan seluruh kaum muslimin, sebab tanpa kepercayaan yang demikian,
tak seorang pun dapat menjadi muslim yang nominal. Oleh karena itu, Al-Qur’an
perlu dijelaskan dengan sebaik-baiknya.
Bagi Ibn Hazm Al-Qur’an itu telah
jelas semuanya, hal ini didasari oleh keyakinan bahwa Allah tidak akan
mempersulit hamba-Nya (Al-Baqarah: 22). Penjelasan itu dilakukan oleh Allah SWT
sendiri sebagaimana yang telah difirmankan dalam surat Al-Qiyamah: 17-19
“sesunngguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (didalammu) dan (membuatmu pandai)
membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya maka ikutilah bacaanya itu.
Kemudian, sesunggunya atas tanggungan kamilah penjelasannya”.
Tidak ada yang samar-samar
didalamnya, sebab telah jelas dengan sendirnya atau dijelaskan oleh Nabi Saw.,
sesuai dengan kerasulannya. Karena itu dasar pemikran mengenai metode ini dalam
ilmu Ushul al-fiqh adalah ayat-ayat yang menjelaskan fungsi Nabi Saw terhadap
Al-Qur’an. Berdasarkan ayta tersebut para pengkaji Al-Qur’an, termasuk Ibn Hazm
menemukan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu ada yang jelas dan mudah ditangkap
pengertianny, sehingga tidak memerlukan penjelasan lebih lanjut (al-bayan) lagi
baik didalam maupun diluar, dan ada yang masih kurang terang pengertiannya.
Bagi ayat yang termasuk katagori kedua ini penjelasannya dapat berupa ayat lain
dalam Al-Qur’an itu sendiri dan atau berupa penjelasan dari Nabi dalam bentuk
hadits.
2. As-sunnah
Ibn Hazm berpendapat bahwa Al-Qur’an
dan as-sunnah adalah sama-sama wahyu Allah. Ia merujuk pada Al-Qur’an Q.S.
An-Najm : 3-4 sebagai dalilnya, dan atas dasar itu ia memformulasikan bahwa itu
terbagi menjadi dua, pertama, wahyu yang dibaca (wahyu watluw) dan
susunan redaksinya mengandung mukjizat, itulah Al-Qur’an. Kedua, wahyu
yang tidak dibacakan dan susunan redaksinya tidak berbentuk mukjizat (wahy
marwi), yaitu berita (al-khabar) yang berasl dari Nabi. Dengan demikian, sunnah
(al-khabar) itu hakikatnya adalah wahyu Allah juga, menrut Ibn Hazm kita harus
mematuhinya seperti halnya Al-Qur’an.
As-sunnah mempunyai peranan dan
posisi yang penting sebagai sumber syari’ah. Posisi tersebut sejalan dengan
fungsi Nabi Saw. Sebagai penjelasannya dalam Al-Qur’an (Q.S. An-Nahl: 44).
Demikian pula, karena sunnah juga wahyu seperti halnya Al-Qur’an, maka dari itu
antar keduanya (selama sunnah itu shahih) selalu saja berkesinambungan kandungan
dengan Al-Qur’an dan tidak akan terjadi kontradiksi (ta’arud) antara keduanya.
Ibn Hazm juga berpendapat bahwa
sunnah itu mencakup segala perkataan, perbuatan, dan persetujan (taqrir) Nabi
Saw. Begitu pula menyangkut dalalahnya, pandangannya secara umum sama dengan
pakar ushul fiqh yang lain.
Menurut Ibn Hazm, yang memiliki efek
imperatif hanyalah yang berbentuk ucapan (hadits qawli), sedangkan yang
berupa perbuatan Nabi (hadits fi’li) hanya berfungsi sebagai model
perilaku yang baik untuk ditiru (uswat/ qudwat hasanah). Hukum
mengikutinya tidaklah wajib, kecuali sunnah fi’liyah itu berfungsi
sebagai “peragaa” terhadaap sunnah qawliyah. Berkenaan dengan
persetujuan Nabiterhadap tindakan sahabat yang diketahuinya itu hanya
menunjukkan mubah saja. Oleh karena itu, tidak wajib mengikuti perbuatan Nabi
Saw, tetapi boleh mengikuti sebagai suri tauladan.
3. Ijma’
Sumber hukum ketiga yang di akui Ibn
Hazm adalah ijma’. Pandangannya tentang ijma’, kelihatannya merupakan
respon terhadap kontroversi yang berkepanjangan di antara madzab-madzab awal
yang mengacu pada ijma’, yang mana pada ujungnya hal ini mengarahkan
kepada “pemaksaan” mengikuti suatu pendapat, dengan mengatakan bahwa telah
tercapai ijma’ mengenai masalah tersebut.s
Ibn Hazm mendefinisikan ijma’ menurut bahasa sebagai “kesepakatan anatara
dua orang atau lebih”. Menurut terminologi adalah:
ما تيقين ان خميع الصحا بة قا لوه
ودا نوا به عن نبيهم
“Apa saja yang diyakini bahwa semua sahabat mengatakannya dan
mereka menerimanya dari Nabi”
Dari hasil penelitian secara ringkas
dapat dikatakan bahwa dalam menetapkan dan menerima ijma’ sebagai sumber
hukum, Ibn Hazm mempunyai dua kriteria. Pertama, ia membatasi
partisipasinya pada sahabat saja, dan kedua, ia mempersempit lingkupnya
hanya pada masalah-masalah yang didasarkan pada nash. Sebagai diketahui
pendekatannya ini berbeda dengan yang di anut mayoritas ulama ushul al-fiqh,
yang menyatakan bahwa partisipan ijma’ itu ialah ulama/mujtahid (termasuk pasca
sahabat) dan lapangan pun tidak terikat pada nash.[6]
Dalam kitabnya yang berjudul
maratib al-ijma’. Ijma’ Ibn Hazm mengatakan:
“sebagian menjadikan hal yang bukan
ijma’ menjadi ijma’. Sebagian menganggap suara mayoritas sebagai ijma’.
Sebagian lainnyamenjadikan hal yang tampak menjadi titik mufakat ijma’
(walaupun mereka tidan mengetahui secara lebih jauh)”. Sebagian lainnya menjadikan
kata sahabat lainnya (walaupu kalangan tabi’in mempunyai pandangan yang
berbeda) sebagai ijma’. Bahkan sebagian menjadikan perkataan sahabat yang tidak
dipertentangkan oleh sesamanya (walaupun tidak populer) sebagai ijma’.
Pandangan-pandangan ini tidak dapat
dapat dibenarkan (walaupun kritikan tersebut tidak bisa disampaikan secara
lebih banyak). Bukti kerancauanpan pandangan ini adalah mereka tampak
meninggalkan yang mereka sebut dengan ijma’ dalam permasalahan yang dihadapi.
perbuatan mereka ini semakin memperkuat pandanagna kami bahwa ini hanyalah
“ijma’ mereka”. Ijma’ in dilakukan untuk menjdiak dalil bagi pendapat mereka
ketika dalam keadaan terdesak
Sebagian lainnya berpendapat, ijma’ yang
diperhitungkan adalah ijma’nya para sahabat,. Sebagian lainnya berpendapat,
disetiap masa terdapat yang namanya ijma’, asalkan dimasa sebelumnya tidak ada
ijma’ yang bertentangan dengannya. Semantara sebagian lainnya berpendapat,
ijma’ yang benar adalah yang terjadi di masa tertentu dan tidak ad yang
menyalahi ijma’ ini”.[7]
4. Ad-Dalil
Mengawali
tentang ad-dalil ini Ibn Hazm langsung menegaskan bahwa ad-dalil yang dikenal
dalam pemikran zahiri ini berbeda dengan qiya, dan ia bukanlah tambahan
terhadap nash atau sesuatu yang berdiri sendiri diluar nash. Ad-dalil itu implisit
di dalam nash itu sendiri. Penegasan itu sebagai reaksi atas prasangka dari
kelompok yang menerima qiyas ibn Hazm berkata:
“didasari
kebodohannya, mereka mengatakan bahwa pendapat kami keluar dari bingkai nash
dan ijma’. Ada yang mengatakan bahwa qiyas sama dengan dalil, hal itu sungguh
merupakan prasangka mereka yang sangat keliru”.[8]
Dalam operasionalisasi ad-dalil ini
mendapatkan suatu kesimpulan hukum dari nash, ulama zahiri membagi ad-dalil
yang diambil dari nash dan ijma’ tersebut sebagai berikut:
a. Dalil
yang di ambil dari nash ada 7 macam
b. Dali yang di ambil dari ijma’ ada 4 macam
Ad-Dalil yang diambil dari nash , yaitu:
- Sutu nash mengandung dua muqaddimah yang menghasilkan suatu kesimpulan hukum (natijah)secara implisit.
- Penerapan keumuman fi’il syarat terhadap seluruh cakapanya, apabila karakteristiknya melekat pad obyeknya.
- Ketentuanketentua hukum itu tertolak seluruhnya kecuali satu, maka benarlah yang atu tersebut. Seandainya tidak dinyatakan dengan tegas hukumnya wajib atau haram, maka tetalah hukunya mubah, meskipun tidak dinyatakan dengan tegas.
- Suatu proposisi yang mengandung penetapan bahwa yang disebut lebih dulu, maka ia lebih baik dari yang berikutnya meskipun tidak dissebut secara tekstual
- Suatu pemahaman yang diperoleh dari teks sebagai konsekuensi logis atau yang dikenal dengan istilah ask al-qadaya.
- Lafadz yang mengandung pengertian yang banyak
Ad-Dalil yang diambil dari ijma’,
yaitu:
- Sesuatu yang ditetapkan hukumnya dengan nash, tetap berlaku sampai ada yang merubahnya.
- Mendapatkan batasan minimal dalam masalah hukum yang diperselisihkan ukuran atau jumlahny
- Kesepakatan untuk meninggalkan hukum yang masih ikhtilaf. Adanya ikhtilaf iti berarti ketentuan hukum yang masih ikhtilaf tersebut tidak tercapai ijma’. Kesepakatan untuk meninggalkan pendapat yang masih ikhtilaf merupakan bukti batalnya ijma’.
- Hukum yang berlaku pada sebagian umat, diberlakukan juga pada seluruh umat selama tidak ada pengecualian.[9]
Pemikiran Ibnu Hazm
Dalam pemikiran Ibn Hazm, apabila analisis
Uways yang mengakan bahwa konsep al-zhahir tersebut sudah demikian jelas,
pengertian yang dimaksudkan ialah semata-mata dari bahasa (dhahirul lughah).
Jadi dhahir adalah sinonim dari kata al wadih, yaitu pemahaman yang langsung
diperoleh setelah mendengar al-lafz atau disebut juga dengan muthlaq
al-lughah. Hipotesis ini dididasarkan pada pernyataan Ibn Hazm bahwa “orang
yang memalingkan arti apa yang tersurat tanpa dalil berupa nash atau ijma’,
maka hal tersebut mengingkari adanya penjelasan didalamnya, dan termasuk
pemutar balikan arti wahyu Allah kepada Nabi Muhammad”. Sungguh hal ini suatu
dosa besar.
Dari ungkapan di atas jelas bahwa
yang dimaksud dengan dhahir, layaknya orang berbicara tiada lain dari kata-kata
(al-lafz) yang di ucapkan sebagai pengertian dan tujuan yang diketahui. Sebab
kalau setiap orang yang berbicara yang di anggap maksudnya lain dari pada yang di ucapkannya,
bagaimana mungkin komunikasinya dapat terjadi dengan orang lain. dalam bukunya
yang lain ditemukan pula ucapannya bahwa ajaran agam islam ini semuanya telah
jelas tidak ad rahasia yang tersembunyi. Ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad Saw, semuanya telah dijelaskan dan tidak ada satu ayat pun yang
disembunyikan serta diterangkan. Sebab apabila itu terjadi maka Nabi Mahammad
dikatakan belum menyampaikan risalah. Untuk mendukung pendapatnya, ia merujuk
ayat-ayat Al-Qur’an surat as-syu’ara’, ayat 193-195, Q.S. Ibrahim: 4, Q.S.
Al-Maidah: 13 dan Al-Angkabut: 51.
Ibn Hazm sampai pada kesimpulan
bahwa seluruh masalah bahwa seluruh masalah yang terjadi di alam telah tersedia
ketentuan hukumnya didalam nash
(Al-Qur’an, as-sunnah dan ijma’). Nash yang telah sempurna dipahami apa adanya
sesuai dengan bahasa atau tekstual (zahir)-nya.[10]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama
lengkap Ibn Hazm adalah Abu Muhammad 'Aly Ibn Ahmad Ibn Sa'îd Ibn Hazm ibn
Ghâlib ibn Shalih Ibn Abi Sufyân ibn Yazîd. Di dalam literatur kitab-kitab
klasik, ia dikenal dengan sebutan Ibnu Hazm. Ia dilahirkan di Cordoba,
Spanyol pada akhir Ramadhān 384 H/ 7 Nopember 994 M. Ibn Hazm berasal
dari keluarga terhormat dan sangat berkecukupan.
Ibn Hazm sejak kecil telah belajar menghafal al-qur’an,
hadits, dan khot (kaligrafi). Mendalami al-quran dan al-hadits terus
berlangsung sampai beliau dewasa dan mencapai tingkat yang sangat tinggi dalam
hal-hal yag berhubungan dengan al-qur’an dan al-hadits
Dalam menentukan hukum Ibn Hazm menggunakan Al-Qur’an,
hadits, ijma’ dan ad-dalil.
Dalam pemikirannya ia memakai dhahirun nash dan hadits,
karena Al-qur’an telah menjelaskan beberapa hukum dengan jelas dan tidak
menyusahkan hambanya. Sehingga, Al-Qur’an tersebut mudah dimengerti.
DAFTAR
PUSTAKA
- Jaih Mubarak, Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam, Bandung: ROSDA, 2001, Hlm:149
- Djazuli. Ilmu Fiqih”penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum”. Jakaerta: Kencna, 2005
- Amri Siregar, Ibnu Hazm Metode Zahiri Dalam pembentukan Sumber Hukum Islam, Yogyakarta: Belukar, 2009
- Jamal Al-Banna, Manifesto Fiqih Baru, Jakarta: Erlangga, 1997
[1] . Jaih Mubarak, Sejarah
dan Perkembangan Hukum Islam, (Bandung: ROSDA, 2001), Hlm:149
[2] . Djazuli, Ilmu
Fiqih”penggalian, perkembangan, dan penerapan Hukum”, (Jakaerta: Kencna,
2005), Hlm:135
[3] . Jaih Mubarak, Sejarah
dan Perkembangan, Hlm: 149-150
[4] . Djazuli, Ilmu Fiqih, Hlm:
[5] . Amri Siregar, Ibnu Hazm
Metode Zahiri Dalam pembentukan Sumber Hukum Islam, (Yogyakarta: Belukar, 2009),
Hlm99-100
[6] . Amri Siregar, Ibnu Hazm
Hlm: 123-124
[7] . Jamal Al-Banna,
Manifesto Fiqih Baru, (Jakarta: Erlangga, 1997), Hlm: 333-334
[8] . Amri Siregar, Ibnu Hazm,
Hlm: 129-130
[9] . Amri Siregar, Ibnu Hazm,
Hlm: 130-134
[10] . Amri Siregar, Ibnu
Hazm, Hlm: 59-61
Casinos Near Harrah's Casino and Racetrack - Mapyro
BalasHapusA map showing casinos and racetracks 충주 출장안마 located near 강릉 출장샵 Harrah's Casino and 하남 출장샵 Racetrack 울산광역 출장샵 in 논산 출장샵 Biloxi, MS.