Sabtu, 16 Juni 2012

Biografi Muhammad Naquib Al-Attas


KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillah,puji syukur kehadirat tuhan Azza Wajalla yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang  berjudul ”Pendidikan Islam Dalam Perspektif Muhammad Naquib Al-Attas.
Shalawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, karena beliaulah yang membawa kita dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan pengetahuan.
Salah satu tujuan dalam penulisan makalah ini adalah guna memenuhi tugas mata kuliyah Filsafat Pendidikan Islam. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak kekurangan dan kelemahan.Karena itu,saran dan kritik maupun sumbangan pemikiran yang sifatnya  membangun demi kesempurnaan isi makalah ini sangat penulis harapkan.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi semua golongan.Amin………………..
Wassalamualaikum Wr.Wb


BAB I
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang
kajian tentang konsep pendidikan islam memang menarik didiskusikan dan di bahas secara mendalam. Memusatakan seputar kajian pendidikan islam dan islamisasi pengatahuan di dasarkan pada keingintahuan akan pemahaman yang relatif komprehensif, mendalam, serta mengkorelasikan pemikiran-pemikiran yang ada dalam konteks pergulatan pemikiran pada zaman sekarang yang lebih dialektik.
Dalam dunia akademisi dinamika pemikiran intelektual selalu tidak merasa puas akan kajian yang ada. Makanya akan selalu mendapat respon yang berbeda dari berbagai pemikir-pemikir ilmu pengatahuan. Di sini penulis mencoba mendiskripsikan selintas pemikiran-pemikiran tentang “KONSEP PENDIDIKAN ISLAM” dalam persefektif Muhammad Naquib Al-Attas guna sebagai pemenuhan tugas mata kuliyah filsafat pendidikan islam.
B.       Rumusan Masalah
Dari uraian yang akan di bahas, dapat di rumuskan sebagai berikut:
1.        Apa pengertian pendidikan menurut Naquib al-Attas?
2.         Bagaimana tanggapan al-Attas tentang islamisasi pengetahuan dan epistemologi Islam?
3.         Mengapa al-Attas membedakan antara al-tarbiyah, al-Ta’lim, serta al-Ta’dib?
  C.      Manfaat Penulisan.
Dengan rumusan yang ada kita dapat memahami:
1.      pengertian pendidikan menurut Naquib al-Attas
2.      Tanggapan al-Attas tentang islamisasi pengetahuan dan epistemologi islam
3.      Perbedaan antara al-Tarbiyah, al-Ta’lim, serta al-Ta’dib


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Biografi Muhammad Naquib Al-Attas
Syed Muhammad Naquib al-Attas di lahirkan di Bogor, Jawa Barat pada tanggal 5 september 1931. Pada waktu itu Indonesia berada di bawah kolonialisme Belanda. Bila dilihat dari garis keturunannya, al-Attas termasuk orang yang beruntung secara inheren. Sebab dari kedua belah pihak, baik pihak ayah maupun ibu merupakan orang-orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli Bogor itu masih keturunan bangsawan Sunda. Sedangkan pihak ayah masih tergolong bangsawan di Johor.[1]
Bahkan mendapat gelar sayyid yang dalam tradisi islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari nabi Muhammad. Melihat garis keturunan di atas dapat dikatakan bahwa al-Attas merupakan “bibit unggul” dalam percaturan perkembangan intelektul islam di Indonesia dan Malaysia.
Faktor intern keluarga al-Attas inilah yang selanjutnya membentuk karakter dasar dalam dirinya. Bimbingan orang tua selama lima tahun pertama merupakan penanaman sifat dasar bagi kelanjutan hidupnya. Orang tuanya yang sangat religius memberikan pendidikan dasar islam yang kuat. Ketika berusia lima tahun al-Attas dimasukkan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School di malaysia sampai usia 10 tahun. Kemudian dia melanjutkan pendidikan di sekolah ‘Urwah al-Wusqa, suka bumi selama lima tahun. [2] karena melihat perkembangan pendidikan di malaysia yang kurang menguntungkan disebabkan Malaysia di kuasai jepang. Al-Attas mulai mendalamai dan mendapatkan tradisi islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini dipahami karena saat itu di suka bumi telah berkembang perkumpulan tarekat Naqsabandiyah.[3]
Terusik oleh panggilan nuraninya untuk mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya di Sukabumi, sekembalinya ke Malaysia al-Attas memasuki dunia militer sebagai tentara kerajaan dalam upaya mengusir tentara Jepang. Al-Attas telah menunjukkan kelasnya dibidang kemiliteran sehingga atasannya memilih dia sebagai salah satu peserta pendidikan militer yang lebih tinggi. Dia belajar diberbagai sekolah militer di Inggris. Bahkan dia sempat mengenyam pengalaman yang merupakan salah satu akademi militer yang cukup bergengsi di Inggris.[4] Setelah Malaysia merdeka (1950) al-Attas memundurkan diri dari kemiliteran dan mengembangkan potensi dasarnya dibidang intelektual. Al-Attas sempat belajar di Universitas Malaya selama 2 tahun. Karena kecerdasan dan ketekunannya dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan study di Institute Of Islamic Studyes, MC. Gill, Kanada.
Dalam waktu yang sangat singkat yaitu pada tahun 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and The Wujudiyyah of 17th Century Acheh. al-Attas kemudian melanjutkan studi di School Of Oriental And African studies di universitas London. Disinilah dia bertemu dengan ling, seorang profesor asal Inggris yang mempunyai pengaruh besar dalam diri al-attas, selam kurang lebih dua tahun (1963-1965), dengan bimbingan martin lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan mempertahankan desertasinya yang berjudul the mysticism of hamzah fanzuri[5]
B.       Konsep pendidikan islam menurut Nuqaib al-Attas
Al-Attas memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), [6] yang mangacu kepada metode dan sistem penanaman  secara bertahap, dan kepada manusia penerima proses dan kandungan pendidikan tersebut. Sehingga dalam pandangannya, pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan pengatahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia disusul dengan pengetahuan lainnya. Dengan demikian dia akan tahu jati dirinya dengan benar”. Tahu dari mana ia, sedang dimana ia, dan mau kemana ia kelak”. Jika ia tahu jati dirinya maka ia akan selalu ingat dan sadar serta memposisikan dirinya. Baik terhadap makhluk, apalagi terhadap sang khalik[7]
Amrullah ahmad menilai, bahwa konsep pendidikan al-Attas mengandung proses pengajaran seseorang dalam tatanan kosmis dan sosial yang mengantarkannya untuk menemukan fungsinya sebagai khalifah[8]. Peserta didik harus di bimbing untuk mengenali dan mengenali Allah sebagai tuhannya, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia manusia ‘abid yang penuh kesadaran, memiliki kemampuan intelek maupun spiritual. Dengan demikian akan lahir berbagai pandangan hidup tauhid, baik rububiyah ataupun uluhiyah, yang meyakini kesatuan ciptaan (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind), kesatuan tuntutan hidup (unity of purpose of life), yang semua ini merupakan derivasi dari  kesatuan ketuhanan (unity of godhead).[9]
Berkaitan dengan definisi pendidikan, al-Attas lebih sepakat menggunakan  kata “al-Ta’dib” (masdar dari kata ad-Daba), yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti peserta didik. Orientasi kata Ta’dib lebih terfokus pada upaya pembentukan pribadi muslim yang berakhlak mulia. Merujuk pada batasan tersebut, menurut al-Attas, penggunaan tema al-Ta’dib lebih cocok di gunakan dalam diskursus pendidikan islam di bandingkan dengan al-Tarbiyah dan al-Ta’lim[10].
Hal ini disebabkan, karena pengertian Ta’lim hanya ditujukan pada proses pentransferan ilmu (proses pengajaran), tanpa adanya pengenalan lebih mendasar pada perubahan tingkah laku. Sedangkam tema al-Tarbiyah menunjukkan makna pendidikan yang masih bersifat umum.[11] Tema ini berlaku bukan saja kepada proses pendidikan pada manusia, akan tetapi juga di tujukan pada selain manusia. Padahal diskursus pendidikan islam hanya di tujukan kepada proses pendidikan yang dilakukan manusia dalam upaya memiliki kepribadian muslim yang utuh, sekaligus membedakannya dengan makhluk Allah yang lainnya. Jadi, al-Ta’dib telah mencakup kata al-Tarbiyah dan al-Ta’lim.[12]
Oleh karena itu, al-Attas menekankan tujuan akhir pendidikan islam pada menghasilkan manusia yang baik, dan bukan masyarakat seperti peradaban barat, atau warga yang baik dalam perspektif ini adalah individu-individu yang beradab, bijak, yang mengenali dan mengakui segala tata tertib realitas itu. Sebagai hasilnya, mereka akan selalu beramal sesuai dengan kaidah itu sendiri.[13]
C.      Islamisasi Pengetahuan Dan Epistemologi Islam
Al-Attas memandang bahwa umat islam menghadapi tantangan besar saat ini, yaitu dengan perkembangnya pengetahuan yang telah salah dalam memahami ilmu dan keluar dari maksud dan tujuan ilmu itu sendiri. Meskipun ilmu pengetahun yang dikembangkan oleh peradaban barat telah memberikan manfaat dan kemakmuran pada manusia, namun ilmu pengetahun itu juga telah menimbulkan kerusakan dan kehancuran di mika bumi.
Dengan sifat ilmu pengetahun berdasar budaya dan peradaban barat yang memberikan ketidakpastian dan krisis yang berkepanjangan, maka itu tidak dapat diterapkan dalam kehidupan ummat islam. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan dapat dijadika alat untuk menyebarluaskan ideologi dan peradaban. Dengan demikian maka ilmu tidaklah bebas nilai (value free) tapi taat nilai (value laden). Sebagai jawaban untuk menanggulangi distorsi atau bahkan mengembalikannya pada proporsi yang sebenarnya, maka al-Attas memperkenalkan dan mengemukakan proses dewesternisasi dan islamisasi sebagai langkah awal membagun paradigma pemikiran islam kontemporer.
Dalam batasan al-Attas, de-westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsur-unsur sekuler (substansi, roh, watak dan kepribadian kebudayaan serta peradaban barat) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan[14]. Hal ini merupakan pemurnian ajaran islam dari segala pengaruh barat.
Bila dilihat pernyataan al-Attas selanjutnya bahwa pada proses de-westernisasi dan islamisasi yang menjadi kendala utama adalah manusia. Oleh karena itu, al-Attas melihat pentingnya digagas suatu gerakan islamisasi pengetahuan.
 Islamisasi dalam pandangan al-Attas adalah proses pembebasan manusia dari tradisi magis, metologis, animis,  tradisi nasionalis dan kultural serta sekularisme. Islamisasi ilmu pengetahuan modern bukan memberikan label islam pada ilmu pengetahuan dan menolak semua yang berasal dari barat, karena terdapat beberapa persamaan antara islam dengan filsafah barat. Dengan demikian islamisasi ilmu pengetahuan membutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi pandangan hidup islam (The Islamic World View) dan sekaligus dapat memahami budaya dan peradaban barat.[15]

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Al-Attas memandang pendidikan sebagai suatu proses penanaman nilai bagi anak didik (manusia), yang mangacu kepada metode dan sistem penanaman  secara bertahap.
Dalam pandangannya, pendidikan islam harus terlebih dahulu memberikan pengatahuan kepada peserta didik berupa pengetahuan tentang manusia guna memposisikan dirinya dan sadar akan dirinya Baik terhadap makhluk, apalagi terhadap sang Khalik
Al-Attas lebih sepakat menggunakan  kata “al-Ta’dib” yang dapat diartikan pada proses mendidik yang lebih tertuju pada pembinaan dan penyempurnaan akhlak dan budi pekerti peserta didik. Yang bertujuan menghasilkan peserta didik yang baik, individu-individu yang beradab, dan bijak.
Islamisasi dalam pandangan al-Attas adalah proses pembebasan manusia dari tradisi magis, metologis, animis,  tradisi nasionalis dan kultural serta sekularisme.
B.       Saran
Kami sadar bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih sangat jauh dari kesempurnaan. Karena itu penulis sangat mengharap sumbangan pemikiran yang sekiranya dapat menjadikan makalah ini lebih mendekati kesempurnaan terutama dari dosen pengampu serta teman-teman mahasiswa/i kelas A jurusan tarbiyah prodi pendidikan bahasa arab sekolah tinggi agama islam negeri (STAIN) pamekasan.

DAFTAR PUSTAKA

*      Siswanto, Pendidikan Islam Dalam Perspektif Filosofis, Pamekasan Madura: STAIN  Pamekasan pers 2009.
*      Langgulung Hasan, asas-asas pendidikan islam Jakarta: Pustaka al-Husna, 1988.
*      Nizar Samsul Haji, filsafat pendidikan islam, pendekatan historis, teoritis dan praktis. Jakarta: Ciputat pers, Juli 2002



                                       



[1] Hasan mu’arif ambary, et.al., suplemen ensiklopedi islam, jilid 2, (Jakarta: pt ichtiar van hoeve, 1995), h.78.
[2] ibid
[3] Martin fan bruinessen, tarekat naqsabandiyah di Indonesia, (bandung : mizan, 1996), H. 170.
[4] Hasan Muarif Anbary, et.al., loc. Cit.
[5] Hasan Mu’arif Anbary, loc. Cit.
[6] Muhammad Naquib Al-Attas, the concept of education in islam (kuala lumpur: ABIM, 1980), hlm.13
[7] Kemas Badaruddin, filsafat pendidikan islam, analisis pemikiran Prof. Dr. syayyid Muhammad naquib al-attas (Yogyakarta: pustaka pelajar, 2007). Hlm. 37
[8] Amrullah Ahmad. “kerangka dasar masalah pendidikan islam,” dalam ed. Muslih Usa, pendidikan islam di Indonesia, antara cita dan fakta (Yogyakarta: Tlara wacana, 1991), hlm 54.
[9] M. Amin Rais, cakrawala islam, antara cita dan fakta(Bandung: Mizar.,1987), hlm.13-14
[10] Al-Attas, the concept of  education, hlm. 25-30.
[11] Kata“al-Tarbiyah” merupakan masdar dari kata rabba berarti mengasuh, mendidik, dan memelihara. Lihat Ibnu Mansur, lisan al’arab, vol. 5 (kairo: dar al-Misriyah)
[12] Hasan Langgulung, asas-asas pendidikan islam (Jakarta: Pustaka al-husna, 1988), hlm. 5
[13] Badaruddin, filsafat pendidikan islam, hlm. 40.
[14] Syed Muhammad Naquib Al-Attas, islam and secularism (kuala lumpur. ISTAC, 1933), h. 202
[15] Wan Mohammad Nor Wan Daud, the educational phllosophy and practice of syed Muhammad naquib al-attas (kuala lumpur: ISTAC, 1998), h. 291.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

SEMUGA BERMAMFAAT