Secara tradisional, kecerdasan dimaknai sebagai kemampuan
untuk menjawab berbagai jenis tes kecerdasan, sehingga secara tradisional,
seorang siswa atau pelajar dianggap cerdas, jika dia mampu menjawab soal-soal
ujian dan mendapatkan rangking pertama di antara teman-teman sekelasnya. Kata cerdas
teraplikasikan pada individu yang patuh, bertingkah laku yang baik, pendiam,
mudah beradaptasi dan dilengkapi oleh beberapa kekuatan ajaib (308).[1] Padahal, kecerdasan juga
menyangkut kemampuan manusia untuk menyelesaikan masalah atau produk mode yang
menjadi konsekuensi dalam budaya masyarakat tertentu (34).
Salah seorang peneliti yang menggagas paradigma baru
tentang kecerdasan adalah Howard Gardner, psikolog yang mengajar di Universitas
Harvard Amerika Serikat. Penulis Frame of Minds –buku yang menjadi karya
tulis pertamanya tentang Multiple Intelligences- ini berusaha
mengidentifikasi jenis-jenis kecerdasan yang dimiliki manusia, di mana jika
kemampuan identifikasi jenis-jenis kecerdasan ini dimiliki oleh seorang guru
dalam proses pembelajaran di dalam kelas, maka akomodasi terhadap kepentingan
murid dan dorongan untuk dapat sukses sesuai dengan orientasi pembelajaran anak
secara individu dapat dilakukan.
Catatan ini berusaha membedah identifikasi Gardner atas
jenis-jenis kecerdasan tersebut dan bagaimana implikasi teori tersebut dalam
pengembangan proses pembelajaran anak didik ke depan.
Importance Of Topic; Dikotomi Uniformity
School dan Individual Based-School
Persoalan terbesar yang terasa masih mengganjal dalam
diri para penyelenggara pendidikan formal di sekolah adalah dikotomi antara Uniformity
School (Sekolah Seragam) dan Individual
Based-School (Sekolah yang berpusat pada individu). Para pendukung uniformity
school yakin bahwa ada sekumpulan kompetensi dasar dan badan pengetahuan
inti yang harus dikuasai oleh setiap individu dalam masyarakat. Maka, sekolah
didirikan sedemikian rupa untuk memastika siswa yang paling berbakat dapat naik
sampai ke puncak dan sebanyak mungkin individu menguasai kemampuan dasar
seefisien mungkin, sehingga harus pula ada kurikulum, metode pengajaran dan
metode penilaian standar yang sama bagi seluruh siswa. Kelemahannya adalah
standar kompetensi hanya satu, sebagian besar siswa akan menjadi tidak
berkompeten dan menguntungkan sekelompok kecil kecerdasan.
Gardner sendiri mendukung kelompok kedua, yakni Individual
Based-School, karena dua alasan besar, yakni: (1) Rekomendasi ahli
Neurobiologi yang menyatakan bahwa sistem syaraf manusia mengalami perbedaan
yang amat besar, sehingga individu pun berbeda dengan individu lain dan
pendidikan harus dipahat sedemikian rupa untuk tetap resposif terhadap
perbedaan ini, (2) Tidak ada individu yang dapat menguasai satu cabang
pengetahuan dengan lengkap, apalagi dalam rentang disiplin dan kompetensi.
Maka, Gardner menggagas cara yang nyaman untuk
menggambarkan Individual Based-School, yakni dengan menggambarkan
sekumpulan peran yang akan dilaksanakan dalam satu sistem sekolah. Ada tiga
peran besar menurut Gardner, yakni Spesialis Penilaian,[2] Pialang Siswa-Kurikulum[3] dan Pialang
Siswa-Masyarakat.[4] Perhatian atas
sifat-sifat dan potensi siswa menurut ketiga peran di atas paling tidak juga
tergantung pada keterpaduan empat faktor, yakni penilaian, kurikulum,
partisipasi keteram pilan dan pendidikan guru dan perkembangan profesional.
Menurut
Gardner, tidak ada yang lebih penting dalam karir pendidikan seorang siswa
ketimbang menjumpai disiplin atau seni yang cocok dengan gabungan kecerdasan
tertentu, berupa kegiatan berharga dari usaha siswa selama bertahun-tahun, atau
bahkan seumur hidup. Individual Based-School sama sekali tidak
berkonotasi pada egosentrisme (keberpusatan hanya pada diri sendiri), melainkan
hanya ingin menganggap serius kecenderungan, minat dan sasaran setiap anak
serta memaksimalkan kemungkinan membantu anak dalam mewujudkan potensi
tersebut.
Kajian Pustaka/ Survey
Literatur (Prior Research On Topic)
Di
Paris tahun 1900, Alfred Binet menemukan tes kecerdasan ala IQ (Intellectual
Quotient). Selain itu, sedikit sekali di dunia Barat ada orang yang selalu
mengandalkan penilaian intuitif untuk mengukur seberapa cerdas orang lain (19).
Arthur Jensen, Psikolog Amerika menyarankan untuk mencermati waktu reaksi untuk
menilai kecerdasan. Sedang Hans Eysenck, Psikolog Inggris menyarankan agar
peneliti kecerdasan dapat langsung mencermati gelombang otak secara langsung.
Sementara, di Amerika Henry Goddard (1919) bekerja dengan individu terbelakang,
Lewis Terman (1916) menguji siswa yang normal dan “cerdas” di California dan
Robert Yerkes (1921) mendesain tes yang akan diberikan kepada calon tentara
dalam PD I.
Teori Pengaruh Jean Piaget (Teori yang memandang bahwa
semua pemikiran manusia sebagai usaha keras menuju pemikiran ilmiah ideal).
Menurut Piaget, seorang anak melewati tahap kualitatif yang berbeda, yang
disebutnya sebagai sensorimotor, pra-operasional, operasional konkret dan
operasional formal. Seorang anak pada satu tahapan bidang pengetahuan akan
berada pada tahap yang sama dalam pengalaman bidang pemikiran yang lain. Namun,
perkembangan antar tahap bersifat tidak halus, tidak linier dan tidak bebas
penyimpangan.
Gardner juga mengutip teori kecerdasan triarchic
(tiga serangkai) Sternberg (1985, 1988), yakni (1) dunia internala individu
(komponen pemrosesan informasi dari metakognitif, prestasi dan komponen
pengetahuan yang diperoleh), (2) dunia eksternal individu (kemampuan individu
untuk beradaptasi dan membentuk lingkungan yang ada, atau memilih lingkungan
yang baru) dan (3) pengalaman individu di dunia (bagaimana individu menghadapi
pengalaman baru dan mengotomatiskan pemrosesan informasi (182).
Kerangka Teori (Theoretical
Framework)
Secara teoretik, MI dibingkai oleh asal usul biologis
dari setiap keterampilan menyelesaikan masalah, karena ada pertimbangan atas
beberapa bukti dari beberapa sumber dan data yang berbeda-beda, yakni:
1.
Perkembangan normal dari individu yang berbakat.
2.
Rusaknya keterampilan kognitif dengan kondisi otak
yang rusak
3.
Penelitian tentang populasi luar biasa, termasuk
pribadi sangat cerdas di bidang tertentu, namun nyaris tidak memahami bidang
lain (Idiot Savant dan Penderita Autisme).
4.
Evolusi proses belajar dalam beberapa milenium
5.
Pertimbangan proses belajar lintas budaya
6.
Penelitian psikometrik, termasuk pemeriksaan korelasi
antar tes.
7.
Penelitian pelatihan psikologis untuk mengukur
transfer dan generalisasi lintas tugas (34-5)
Dalam
kritik teorinya, Gardner menyatakan bahwa teori kecerdasan majemuk memang
konsisten dengan banyak bukti empiris, namun sayangnya, teori ini (sampai saat
buku ini ditulis, persn.) belum pernah menjadi subyek bagi tes percobaan serius
dalam psikologi. Dalam bidang pendidikan, aplikasi dari teori ini sedang
diteliti dalam banyak proyek di Amerika (58-9).
Dalam
hubungannya dengan kecerdasan, Gardner membedakan dan meneliti empat prinsip
yang berbeda dalam tahap-tahap perkembangan individu, yakni;
a.
Usia 5 tahun. Pada masa ini,
seorang anak mulai mengembangkan teori dan konsep yang luar biasa tentang
keadaan dunia, baik dunia fisik dan dunia orang lain. Ada pula pengembangan
kompetensi paling awal dalam sistem simbol dasar manusia, seperti bahasa,
angka, musik, gambar dua dimensi dan lain sebagainya. Gardner menyebut proses
yang terjadi di masa ini sebagai proses “Kristalisasi Pengalaman”.
b.
Usia 10 tahun. Seorang anak
mulai memiliki sikap yang amat berbeda dalam periode ini terhadap peluang dalam
budaya mereka. Dengan keinginan untuk mengetahui aturan permainan, keberadaan
pemikiran dan sensitivitas di bidang tersebut tumbuh subur, sehingga periode sekolah
awal ini dapat berfungsi sebagai pelatihan menuju keahlian di bidang pemikiran
spesifik menurut cara suatu budaya. Kondisi ke arah kreativitas tergantung pada
susunan dan sifat-sifat kepribadian serta keadaan demografi.
c.
Periode Akil-Baligh (15-25 tahun).
Periode ini adalah saat kritis yang menentukan perkembangan bakat seseorang.
Inidividu yang tekun bekerja selama satu dekade dalam satu bidang pemikiran
kemungkinan akan memperoleh tingkat keahlian dan dapat memilih untuk terus
memberikan kontribusi pada tingkatan sedang di bidang pemikiran yang
ditekuninya untuk masa depan yang dapat diperkirakan.
d.
Praktisi Matang (26-35 tahun).
Periode ini adalah akhir dari perkembangan bakat manusia. Menurut Gardner,
individu kreatif mempunyai kepribadian yang konsisten, apapun perbedaan bidang
pemikiran mereka.
Walau
diakuinya masih banyak jenis kecerdasan yang masih belum teridentifikasi, dalam
buku ini Gardner merumuskan tujuh jenis kecerdasan majemuk sebagai berikut:[5]
No.
|
Jenis Kecerdasan
|
Definisi, Historical Background, Uraian
Tambahan dll
|
Letak Proses Kerja dalam Otak
|
1.
|
Kecerdasan Linguistik (Word Smart)
|
Kecerdasan yang terfokus pada kepekaan pada sifat
bunyi bahasa (speaking, listening, reading and writing),
termasuk puisi. Siswa yang menguasai kecerdasan ini relatif berhasil dalam
pembelajaran dengan metodologi tradisional dalam kelas klasikal.
|
Daerah Broca pada otak kiri yang bertanggung
jawab menghasilkan kalimat yang benar secara grammatikal
|
2.
|
Kecerdasan Logika-Matematika (Logical Smart)
|
Dengan kecerdasan ini, siswa memiliki kemampuan
menyelesaikan persoalan yang berhubungan dengan angka/ bilangan dan
sebab-akibat. Pada diri orang berbakat, proses penyelesaian masalah
seringkali berlangsung amat cepat (pecatur dan ilmuwan). Kecerdasan model ini
bersifat non-verbal (Fenomena Eureka).[6]
|
Otak kiri
|
3.
|
Kecerdasan Ruang (Visual/ Spatial Smart)
|
Kecerdasan ini digunakan dalam pengamatan secara
visual, seperti dalam navigasi, sistem pencatatan peta dan visualisasi benda
dari sudut yang berbeda (shooting film) dan permainan catur. Ada kemampuan
membuat image yang sedang dibicarakan untuk membangun pengertian.
|
|
4.
|
Kecerdasan Musik (Musical Smart)
|
Kecerdasan yang terfokus pada reaksi yang kuat dalam
mengukur tinggi-rendahnya nada dan kemajuan yang tepat dalam memainkan
instrumen ini berperan penting dalam menyatukan masyarakat di Zaman Batu
(Paleolitikum)
|
Otak bagian kanan
|
5.
|
Kecerdasan Gerakan Badan (Kinestetik/ Body Smart)
|
Terdiri dari kemampuan menggunakan badan untuk
beraktivitas dan menyatakan emosi (dansa), melakukan permainan (olahraga) dan
menciptakan produk baru (menemukan penemuan).
|
Korteks Motoris (Kulit Otak) dengan setiap belahan
otak mendominasi/ mengendalikan gerakan badan yang berada di sisi yang
berlawanan
|
6.
|
Kecerdasan Antar Pribadi (Interpersonal Smart/
People Smart)
|
Dibangun di atas kemampuan untuk mengenali
perbedaan, khususnya suasana hati, temperamen, motivasi dan kehendak,
sehingga mudah bergaul dengan banyak orang. Bukti biologis dari kecerdasan
ini ada pada dua faktor, yakni: 1) panjangnya masa anak-anak dari primata
(hubungan dekat dengan ibu) dan 2) faktor interaksi sosial.
|
|
7.
|
Kecerdasan Intra Pribadi (Intrapersonal Smart/
Self Smart)
|
Kecerdasan yang membuat seseorang dapat berdialog
dengan dirinya sendiri, termasuk nilai-nilai, perasaan dan gagasannya
sendiri. Pengetahuan aspek internal individu dengan mempunyai model hidup
yang efektif bagi dirinya sendiri.
|
Limitations And Key Assumption
Kajian
yang dilakukan Gardner ini merupakan interdisciplinary studies (Studi
Interdisipliner) yang mengintegrasikan antara disiplin-disiplin
psikologi, Neuro-Sains dan teknologi pembelajaran. Namun, wilayah kajian ini
oleh Gardner sendiri disebutkan berada dalam disiplin Neuropsikologi.
Kecerdasan
dimaknai sebagai kemampuan umum yang ditemukan dalam berbagai tingkat dalam
setiap individual sebagai kunci sukses dalam menyelesaikan masalah (32).
Bentuknya berupa kompetensi kognitif (belajar dan memahami) yang terdiri atas
sekumpulan kemampuan, bakat atau keterampilan mental, di mana semua individu
normal memiliki kecerdasan ini dalam tingkatan dan kombinasi yang berbeda-beda.
Dari perspektif ini, Gardner menyebutkan bahwa kecerdasan (Intelligence)
adalah potensi biopsikologis, karena ia berkaitan dengan output yang pertama
kali ditentukan oleh faktor genetik yang diwarisi seorang individu dan
sifat-sifat psikologis yang dimilikinya, mulai kekuatan kognitif hingga
kecenderungan dalam kepribadian. Dari perspektif biopsikologis, seorang
individu diteliti kemampuan, kecenderungan, nilai-nilai dan sasarannya,
termasuk pertimbangan genetik, substrat neurologi dari tingkah laku, kekuatan
kognitif, sifat dan disposisi temperamental (83-4).
KECERDASAN SEBAGAI POTENSI
BIOLOGIS
=
FAKTOR GENETIK + FAKTOR
LINGKUNGAN
Implikasi Teori (Contribution
To Knowledge)
Penelitian
Gardner yang berdasar pada kecerdasan sebagai kemampuan manusia menyelesaikan
masalah menunjukkan bahwa kemajemukan bakat manusia sampai pada tingkat yang
signifikan tidak saling bergantung satu sama lain (Not Interdepend each
other, but integrated), misalnya seseorang yang mempunyai kecerdasan tinggi
di bidang logika-matematika tidak serta merta memerlukan kecerdasan musik atau
bahasa dengan tingkat yang setara tingginya. Namun demikian, faktor eksternal
berupa tingkat peran budaya ikut menentukan tingkat kebutuhan seseorang
terhadap kecerdasan yang bersifat kombinatif, seperti kecerdasan memainkan
biola juga membutuhkan kecerdasan kinestetik dan antar pribadi dalam
berhubungan dengan penonton.
Apa
yang dihasilkan Gardner dalam teori kecerdasan majemuknya membentuk implikasi
pendangan, baik secara teoretik maupun praktis, yang secara garis besar dapat
dipetakan dalam tiga model implikasi, yakni:
a)
Tahap-tahap perkembangan natural
dari kecerdasan
Pada awalnya, kecerdasan diawali dengan kemampuan
membuat pola dasar, seperti membedakan tinggi rendahnya nada dalam kecerdasan
musik atau memahami pengaturan tiga dimensi dalam kecerdasan ruang. Tahap
berikutnya, kecerdasan memiliki kemampuan beradaptasi dengan sistem simbol,
seperti bahasa diikuti oleh kalimat dan cerita, nada menjadi musik dan lagu,
konsep ruang lewat lukisan, kinestesi menjadi dansa dan sebagainya.
Selanjutnya, bersamaan dengan kemajuan yang terus berkembang, kecerdasan dan
sistem simbol direpresentasikan dalam sistem penulisan (written tradition). Matematika, Not Balok, Bahasa Sandi adalah
sistem turunan simbol kedua di atas kertas yang biasanya dapat dikuasai melalui
jalur pendidikan formal. Perkembangan terakhir dapat dilihat pada periode
akil-baligh melalui pengembangan diri melalui profesi dan hobi, seperti
penguasaan kemampuan matematika yang mencapai kematangan ekspresi pada peran
sebagai akuntan, kasir, matematikawan dan lain sebagainya.
Periodisasi tahap-tahap perkembangan kecerdasan di atas
juga berimplikasi melihat individu dalam dua oposisi binear, yakni individu yang “menjanjikan” dan individu yang
“beresiko”. Asumsi dasarnya adalah setiap individu manusia dapat mengambil
bagian dari setiap jenis kecerdasan sampai pada tahap tertentu, namun mereka
dinyatakan “menjanjikan”, jika mendapatkan karunia kemampuan dan keterampilan
inti dari kecerdasan tersebut dan dinyatakan “beresiko” jika mereka dianggap
gagal karena tidak adanya bantuan khusus.
b)
Tahap-tahap perkembangan dalam pendidikan
Perbedaan
manifestasi kecerdasan pada masing-masing tingkat perkembangan memunculkan
pemikiran tentang perlunya penilaian dan pemeliharaan melalui media dan metode
pendidikan yang tepat, karena masing-masing media dan metode pendidikan yang
tepat pada satu periode akan menjadi tidak tepat bagi periode yang lain. Pada
masa pra-sekolah dan sekolah awal, perintah harus menekankan peluang, karena
pada masa ini, anak-anak harus dapat menemukan sesuatu yang menarik dan
kemampuan khas bagi mereka sendiri. Sedangkan pada usia sekolah, beberapa
penguasaan sistem penulisan sangat penting untuk masyarakat kita. Dua masalah
yang dibaca Gardner dalam wilayah ini adalah a) bagaimana menemukan bentuk yang
tepat, karena pengajaran dalam kelompok dapat bermanfaat dalam suatu keadaan
dan merugikan dalam keadaan yang lain, dan b) bagaimana memadukan hubungan
antara pengetahuan praktis dan pengetahuan yang melekat pada sistem simbolik
dan sistem penulisan.
Pada
masa akil-baligh, siswa harus dibantu memilih kariernya, baik kependidikan
maupun profesionalnya. Tugas ini menjadi sangat kompleks, karena sikap
kecerdasan berinteraksi dalam peran budaya yang bervariasi, seperti menjadi
dokter membutuhkan kecerdasan logika-matematika. Namun, dokter umum lebih
membutuhkan kecerdasan antar pribadi yang kuat, sedang dokter bedah lebih
membutuhkan kecerdasan kinestetik.
Dalam
pengajaran praktis, analisis di atas dapat dikembangkan dalam dua bidang, yakni
peran pengajaran dalam hubungannya dengan manifestasi perubahan kecerdasan di
sepanjang fase-fase perkembangan dana evaluasi pengajaran dengan memperhatikan
fase-fase perkembangan kecerdasan tersebut. Siswa akan benar-benar dapat
mengambil manfaat dari pengajaran dan pelatihan, jika kedua produktif dan cocok
dengan tempat spesifik mereka dalam kemajuan perkembangan.
[1]Le Vine dan White (1986) mencatat bahwa dalam masyarakat
tradisional, kemampuan mempertahankan ikatan sosial masyarakat dalam
hubungannya dengan kerjasama untuk memenuhi kebutuhan dasar dipandang sebagai
kecerdasan, termasuk mengikuti norma moral masyarakat dalam mempertahankan
hubungan sosial dalam kerangka keamanan jangka panjang (333).
[2]Bertugas menyediakan informasi tentang potensi dan kekuatan tertentu
secara reguler, sekaligus kecenderungan dan kelemahan para siswa dalam suatu
sekolah. Tiga kriteria penilaian, yakni (1) harus adil terhadap kecerdasan, (2)
harus dikembangkan dengan memadai dan menggunakan teknik yang sesuai dengan
tingkat perkembangan anak dalam bidang pengetahuan tertentu dan (3) terkait
dengan rekomendasi, nilai, uraian apapun, sekaligus aktivitas yang disarankan
untuk dilakukan siswa.
[4]Bertugas
mencari peluang pendidikan untuk siswa dalam masyarakat yang lebih luas.
Sasarannya adalah meningkatkan kemungkinan siswa akan menemukan peran profesi/
hobi yang sesuai dengan profil kecerdasan mereka sendiri. Pialang harus
menyusun informasi mengenai kesempatan magang, pembimbingan, organisasi
masyarkat dan hal-hal lain yang serupa.
[5]Dalam
bukunya yang lain (terbaru), Gardner menyebutkan tiga tambahan kecerdasan baru
sehingga menjadi sepuluh, yakni: (8) Kecerdasan Eksistensial (Kecerdasan untuk
dapat belajar melalui konteks/ hubungan yang terfokus pada kedudukan manusia
dalam big picture keberadaannya di alam semesta. Jenis kecerdasan ini
tampak dalam aliran filsafat), (9) Kecerdasan Natural (Kecerdasan yang
berkaitan dengan kesenangan pada kegiatan outdoor, binatang dan fieldtrip,
termasuk kesenangan menginterpretasikan makna secara berbeda atau memiliki
pandangan yang berbeda dengan orang lain pada umumnya) dan (10) Kecerdasan
Spiritual (Kecerdasan yang berkaitan dengan hal-hal transenden atau mengatasi
waktu serta melampaui kekinian dan pengalaman manusia). Lihat Howard Gardner, Intelligence
Reframed: Multiple Intelligences for the 21th Century, (New York: Basic
Books, 1999).
[6]Bersama dengan kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematika
konsisten dengan pendirian psikologi tradisional.
[7]Kerusakan pada otak kanan bagian belakang merusak kemampuan
menemukan jalan ke suatu tempat, mengenali wajah atau pemandangan dan
memperhatikan rincian yang halus.
[8]Alzheimer (Penyakit Otak pada orang tua)
yang menyerang zona otak bagian belakang menyebabkan kerusakan berat pada
kemampuan menghitung ruang, logika dan linguistik, sedang penyakit Pick
yang lebih berorientasi pada otak bagian depan dapat menyebabkan hilangnya
keluwesan sosial dengan cepat.
[9]Kerusakan pada otak bagian depan menyebabkan orang mudah tersinggung
dan euforia, sedangkan kerusakan di bagian atas dapat menyebabkan sikap acuh tak
acuh, lesu, lambat dan apatis (depresi kepribadian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar