1. Pembentukan faham ASWAJA
Memahami Aswaja Sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi)
Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) adalah serangkaian tuntunan hidup yang diajarkan
oleh para kiai, ustadz, atau guru di pesantren-pesantren, madrasah atau
sekolah dan sudah kita amalkan saat ini. Banyak kalangan, khususnya
kader NU sendiri, yang salah faham menganggap Aswaja terpisah dari amal
keseharian sehingga membutuhkan disiplin ilmu atau kajian khusus, dan
ternyata yang kemudian dibahas hanyalah sekelumit sejarah Aswaja, bukan
Aswaja itu sendiri.
Secara umum aswaja adalah ajaran yang mengikuti Rasulullah SAW, melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, mujdtahiddin, dan imam mazhab. Hal tersebut sesungguhnya sudah kita lakukan dalam kehidupn sehari-hari, pada dasarnya aswaja berisi tentang ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf dll yang sering kita lakukan namun secara terminologi kita belum memahaminya secara mendalam.
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap. Pertama, masa imbreonal pemikiran suni dalam bidang teologi yang mana memilih salah satu pendapat yang paling benar. Pada tahap ini boleh dibilang masih pada tahab konsulidasi dan tokoh penggeraknya adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kemudian yang kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Beberapa frinsip dasar yang harus dipegang teguh apabila aswaja sebagai manhaj al-fikr yaitu prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan social, cara bergaul dalam kondisi social budaya masyarakat.
• Internalisasi aswaja melalui sekolah aswaja
Kalau kita pahami aswaja sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi) tentang islam. Maka sangat perlu untuk memberikan pemahaman mendasar tentang aswaja bukan pada sejarah maupun teori. Namun yang mendasar untuk difahami adalah substansi/isi aswaja itu sendiri seperti apa.
Secara umum aswaja adalah ajaran yang mengikuti Rasulullah SAW, melalui praktik-praktik yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, mujdtahiddin, dan imam mazhab. Hal tersebut sesungguhnya sudah kita lakukan dalam kehidupn sehari-hari, pada dasarnya aswaja berisi tentang ajaran tauhid, fiqh, tasawwuf dll yang sering kita lakukan namun secara terminologi kita belum memahaminya secara mendalam.
Melacak akar-akar sejarah munculnya istilah ahlul sunnah waljamaah, secara etimologis bahwa aswaja sudah terkenal sejak Rosulullah SAW. Sebagai konfigurasi sejarah, maka secara umum aswaja mengalami perkembangan dengan tiga tahap. Pertama, masa imbreonal pemikiran suni dalam bidang teologi yang mana memilih salah satu pendapat yang paling benar. Pada tahap ini boleh dibilang masih pada tahab konsulidasi dan tokoh penggeraknya adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M). Kemudian yang kedua, proses konsolidasi awal mencapai puncaknya setelah Imam al-Syafi’I (w.205 H/820 M) berhasil menetapkan hadist sebagai sumber hukum kedua setelah Al- qur’an dalam konstruksi pemikiran hukum Islam. Pada tahab ini, kajian dan diskusi tentang teologi sunni berlangsung secara intensif. Ketiga, merupakan kristalisasi teologi sunni disatu pihak menolak rasionalisme dogma, di lain pihak menerima metode rasional dalam memahami agama.
Beberapa frinsip dasar yang harus dipegang teguh apabila aswaja sebagai manhaj al-fikr yaitu prinsip tawassut (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasammuh (toleran). Moderat tercermin dalam bidang hukum, sikap netral (tawazun) berkaitan dengan sikap politik, keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasammuh) terefleksikan dalam kehidupan social, cara bergaul dalam kondisi social budaya masyarakat.
• Internalisasi aswaja melalui sekolah aswaja
Kalau kita pahami aswaja sebagai manhaj al-fikr (Cara Pandang/Ediologi) tentang islam. Maka sangat perlu untuk memberikan pemahaman mendasar tentang aswaja bukan pada sejarah maupun teori. Namun yang mendasar untuk difahami adalah substansi/isi aswaja itu sendiri seperti apa.
2. Metode Pemikiran Aswaja
Memahami Aswaja (Ahlussunah Waljamaah)
sebagai sebuah metode pemikiran dan pergerakan Islam masih sangat
penting, khususnya dewasa ini di mana Islam tengah berada di
persimpangan jalan antara kutub kanan dan kiri. Tarik menarik yang
terjadi antara dua kutub ini tidak terlepas dari pergulatan Islam itu
sendiri dengan realitas yang selalu hidup. Wacana penyegaran pemahamanan
keagamaan kemudian menjadi sebuah kebutuhan jaman yang tidak dapat
terelakkan. Boleh dibilang bahwa unsur dinamik yang terdapat dalam agama
Islam sejatinya terletak pada multi-interprestasi yang selalu
berkembang dalam merespon perubahan realitas yang terjadi melalui satu
titik mainstream Islam berupa pedoman kitab dan sunnah yang diyakini
oleh umatnya.
Hal
ini yang membedakan dengan agama-agama lainnya, penyeregamanan
(konvergensi) satu model interprestasi sumber otentik agama yang
dimilikinya menjadikan nilai sebuah agama itu justru kehilangan
kesegarannya. Betapapun secara historis upaya memunculkan bentuk tafsir
yang berbeda tersebut telah ada, namun muaranya lebih kepada
pengelupasan agama yang mereka anut dari panggung kehidupan
materialistik.[2]
Sebagai
bukti dari dinamika progresif yang terdapat dalam Islam ini, adalah
dari larisnya wacana-wacana keislaman yang diangkat baik dalam skup
nasional ataupun internasional, yang dijelmakan ke dalam ruang
aktualisasi gagasan dan karya, baik buku, jurnal, institusi, seminar,
pelatihan dan lain-lain. Wacana yang diangkat pun sangat beragam dari
mulai yang paling kanan sampai yang paling kiri, dari yang paling
fundamentalis sampai yang liberal. Seluruhnya membentuk siklus
pencerahan yang berangkat dari misi mengembalikan Islam sebagai sebuah
agama yang mampu menjadi solusi masa kini dan juga masa depan, dan
nampaknnya tidak ada yang meyempalkan wacananya dari sumber otentik
al-kitab dan sunnah.
Dari
sini sesungguhnya yang diperlukan dari kita adalah kearifan untuk
menyikapi problematika multi-tafsir pemahaman keagamaan ini secara
apresiatif dan tidak dianggap sebagai sebuah pencemaran agama. Yang
harus dipersiapkan adalah sejauhmana kesanggupan kita melakukan
dialektika yang komprehensif dalam menyaring gagasan mana yang lebih
berdaya manfaat dan memberikan kemaslahatan bagi umat Islam masa kini.
Di samping kebesaran hati kita untuk membuka pikiran dalam menerima
berbagai varian gagasan yang dimunculkan tersebut. Tak terkecuali bagi
Aswaja yang telah lama diyakini sebagai teologi yang banyak diyakini
atau dianut oleh umat Islam di dunia, ia juga tak ubahnya mangalami
dialektika multi-tafsir yang sama. Maka menggiring Aswaja pada satu
bentuk konsep yang tunggal hanya akan menjadikan ajaran Aswaja
kehilangan kesegarannya. Lebih-lebih aswaja hanya berfungsi sebagai
salah satu bentuk metode berpikir dalam memahami lautan Islam dan
keislaman yang maha luas.
Aswaja dan Klaim Keselamatan
Munculnya
Aswaja sebagai sebuah sistem atau paham tidak lepas dari kondisi
sosio-politik pada masa awal Islam yang berkisar pada paruh awal abad
ketiga hijriyah, di mana kekuasaan politik Islam baru mengalami masa
transisi dari kekuasaan Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah. Pada
masa itu sangat marak tradisi intelektual baik dalam bentuk perwujudan
karya lokal ataupun pemindahan karya luar untuk proses transformasi
internal. Di mana perhatian dinasti Abbasiah terhadap pengembangan ilmu
pengetahuan sungguh begitu tampak, dan seakan menjadi prioritas proyek
pembangunan rezim kekuasaannya. Di samping pula mulai lahirnya beragam
pemikiran umat Islam dalam merespon berbagai persoalan yang baru muncul
ketika itu. Tepatnya dibawah kepiawaian intelektual Abu Hasan al-Asy’ari
(w. 324 H.) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H.) aswaja sebagai
sebuah paham dan teologi independen mulai diperkenalkan.
Sebelumnya
di era kenabian, umat Islam masih bersatu, dalam artian tidak ada
golongan A dan tidak ada golongan B, tidak ada pengikut akidah A dan
tidak ada pengikut B, semua berada dibawah pimpinan dan komando
Rasulullah Saw. Bila terjadi masalah atau perbedaan pendapat antara para
sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah Saw. itulah yang
menjadikan para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam
masalah akidah, maupun dalam urusan duniawi.
Kemudian
setelah Rasulullah Saw. wafat benih-benih perpecahan mulai tampak dan
puncaknya terjadi saat Imam Ali RA. menjadi khalifah. Namun perpecahan
tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu,
meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai
ditebarkan oleh Ibnu Saba’, seorang yang dalam sejarah Islam dikenal
sebagai pencetus faham Syi’ah (Rawafid). Tapi setelah para sahabat
wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar,
sehingga timbullah paham-paham yang bermacam-macam yang dapat dibilang
‘menyempal’ dari ajaran Rasulullah Saw.
Saat
itu umat Islam terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai
golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam
Islam, seperti Mu’tazilah, Syi’ah (Rawafid), Khawarij dan lain-lain.
Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan
orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan
dan diyakini oleh Rasulullah Saw. bersama sahabat-sahabatnya.[3]
Golongan
yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongan dan akidahnya
Ahlus Sunnah Waljamaah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah
golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW : “bahwa
golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah)
adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah Saw)
kerjakan bersama sahabat-sahabatku”.[4]
Dengan
demikian akidah Ahlus Sunnah Waljamaah adalah akidah Islam yang dibawa
oleh Rasulullah dan golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah umat Islam.
Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syi’ah
(Rawafid) dan lain-lain, adalah golongan yang menyimpang dari ajaran
Rasulullah Saw yang berarti menyimpang dari ajaran Islam. Dengan
demikian hakekatnya embrio akidah Ahlus Sunnah Waljamaah itu sudah ada
sebelum lahirnya Abu Hasan al-Asyari dan al-Maturidi. Begitu pula
sebelum timbulnya ahli bid’ah atau sebelum timbulnya kelompok-kelompok
sempalan.
Sekalipun
pemahaman tentang klaim keselamatan yang hanya dimiliki oleh kelompok
Aswaja telah banyak dikritik oleh banyak pemikir dan ulama Islam,
khususnya dari aspek penjabaran klasifikasi perpecahan yang terjadi di
tubuh umat Islam ke dalam angka pas 73 kelompok, diragukan oleh sebagian
ulama. Contohnya beberapa ulama seperti Abdul Qahir al-Baghdadi (w. 429
H), atau as-Sahrasthani (w. 548 H), dan Ibnu al-Jauzi (w. 597 H) lebih
memahami redaksional hadits perpecahan umat Islam (Hadits Furqah) secara
harafiah. Sehingga berkonsekuensi pada upaya mereka untuk
mencocok-cocokkan kelompok Islam yang dianggap “sempalan” sampai pas
mencapai 72 kelompok dan hanya satu kelompok saja yang selamat. Padahal
secara kebahasaan, dan tafsir al-Qur’an dalam hal yang berkaitan dengan
redaksi penyebutan angka, tidak mesti menunjukkan angka yang pas seperti
yang termaktub, melainkan indikasi tentang banyaknya atau menjamurnya
suatu hal yang menjadi obyek pembahasan.
Contohnya,
dalam ayat al-Qur’an surat at-Taubah: ayat 80, tentang istighfarnya
nabi Muhammad sebanyak 70 kali atau lebih atas orang-orang yang munafiq,
tidak berarti harus pas dengan 70 kali sebagaimana redaksi yang ada.
Atau seperti dalam surat Luqman: ayat 27, yang menerangkan tentang 7
laut yang digunakan sebagai tinta untuk menghitung nikmat Allah Swt,
tidak bermakna 7 pas, sebab sekalipun ia lebih, semisal 70 atau 700 pun
akan sama hasilnya; tidak akan dapat mampu menghitung nikmat Allah
dimaksud. Intinya angka yang tertera dalam redaksi hadits perpecahan
umat Islam tidak bermakna harafiah (terbatas angka tertera).[5]
Terlepas
dari shahih dan tidaknya hadits di atas, kenyataannya sampai saat ini
masih berlaku klaim-klaim keselamatan sebagai impak dari testimoni
hadist tersebut. Jika yang dimaksud Ahlussunah Waljamaah ialah
satu-satunya kelompok yang selamat dan masuk syurga, seluruh sekte dalam
Islam akhirnya mengklaim sebagai Ahlussunah. Muhammad Abduh mengutip
perkataan Jalauddin al-dawâni bahwa: Nashiruddin at-Thushy menganggap
kelompok yang selamat tersebut adalah sekte Syi’ah Imamiyyah. [6]
Sementara sebagian ulama lainnya menganggap kelompok As-Sya’irah lah
kelompok yang selamat tersebut. Sedang Ibnu Taimiyyah berpandangan,
kelompok ahlu hadits yang seluruh prilaku dan perkataannya senantiasa
disesuaikan dengan pola hidup Rasulullah Saw lah yang paling berhak
dianggap sebagai kelompok yang selamat. Dewasa ini malah baik kelompok
salafi dan ahlu hadits masing-masing mengklaim sebagai pengikut
ahlussunah yang paling berhak dianggap sebagai kelompok yang selamat.
Bahkan sebagian pemikir kontemporer beranggapan bahwa Mu’tazilah lah
yang lebih dahulu lahir dan paling berhak untuk menyandang label
Ahlussunah Waljamaah ketimbang yang lainnya. [7]
Bagi
saya, terminologi keselamatan tidak harus selalu berada pada salah satu
kelompok yang disebut di atas, dapat saja kebenaran diperoleh atau
didapat pada seluruh kelompok Islam yang ada, baik kelompok as-Sya’irah,
Syi’ah, Ahlu Hadits, ataupun Mu’tazilah. Sebagaimana sisi kekeliruan
atau kesalahan dalam ijtihad yang mereka lakukan juga relatif mungkin
terjadi. Mengingat perbedaan pendapat yang kerap terjadi bukan selalu
pada ranah akidah atau ushuluddin, melainkan pada ranah furu’iyyah yang tidak ada kaitannya dengan persoalan justifikasi iman atau kafir.
Dengannya kita patut meragukan kebenaran testimoni Imam as-Shahrastani: ”Jika kebenaranan dalam
persoalan aqliyat (rasional) berwajah satu, maka sangat logis jika
kebenaran itu pun seharusnya berada pada satu wajah kelompok Islam”,
mengingat pendapat atau pandangan suatu kelompok tidak harus secara
mutlak kita terima atau pun kita tolak. Pada ranah ini selalu berlaku
relatifitas ijtihad yang merupakan karateristik kelenturan syariat yang
dimiliki oleh Islam.
Aswaja-NU: Sebuah Pengenalan Singkat
Adapun
Aswaja-NU adalah hasil rumusan Ahlussunnah waljamaah oleh kalangan
tradisionalis Islam di Indonesia. Eksistensi Komunitas ini dikenal sejak
penyebaran Islam era pertama di Indonesia yang ditandai dengan
berdirinya pusat-pusat pengajaran Islam berupa pesantren di seluruh
nusantara. Tradisi keagamaan yang sudah lama berkembang itulah yang
kemudian diformalkan dengan pembentukan sebuah organisasi bernama
Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926 M.
Berdirinya
organisasi ini, selain karena tuntutan dinamika lokal juga karena
momentum internasional yang terjadi pada waktu itu. Pada tingkat lokal,
ulama-ulama dari sayap pesantren merasa perlu mengkonsolidasikan diri
untuk memagari tradisi-tradisi keagamaan yang sudah ada dari ”serangan”
dakwah kalangan modernis. Mereka ini merupakan kelanjutan dari misi
penyebaran ajaran Wahhabi dengan isu utamanya yang dikenal dengan ”anti
TBC” (Tachayul, Bid’ah dan Churafat). Dalam konteks internasional, para
ulama berkepentingan untuk bersatu guna menyampaikan aspirasi umat Islam
Indonesia tentang kebebasan bermadzhab dan menentang gagasan pemusnahan
situs-situs bersejarah di Haramain. Hal itu terjadi karena Penguasa
Hijaz yang baru, Ibn Sa’ud, hendak menerapkan paham Wahhabi di wilayah
kekuasaannya itu.
Dalam ”Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyyat Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah” (Preambule
AD-ART NU) yang ditulis Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari secara tegas
terdapat ajakan kepada para ulama Ahl al-Sunnah wal Jama’ah untuk
bersatu memagari umat dari propaganda pada ”ahli bid’ah”. Yang dimaksud
tentu saja adalah orang-orang pendukung ajaran Wahhabi yang dalam
da’wahnya selalu mencela tradisi-tradisi seperti tahlilan, ziarah kubur,
qunut, tawassul dan lain-lain sebagai perbuatan Bid’ah. Selain itu,
mereka menganggap kebiasaan-kebiasaan para santri yang lain sebagai
sesuatu yang mengandung unsur Tahayyul dan Khurafat. Mereka juga
menyatakan bahwa kepengikutan terhadap ajaran madzhab merupakan sumber
bid’ah, dan oleh karenanya umat Islam harus berijtihad (ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah)
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Dengan demikian, yang dimaksud dengan ”Aswaja” oleh NU adalah pola keberagamaan bermadzhab. Pola ini diyakini menjamin diperolehnya pemahaman agama yang benar dan otentik, karena secara metodologis dapat dipertanggungjawabkan transmisinya dari Rasulullah sebagai penerima wahyu sampai kepada umat di masa kini. Metode ini mempersyaratkan adanya Tasalsul (mata rantai periwayatan).
Selain
itu, pola ini mengandung penghargaan terhadap tradisi lama yang sudah
baik dan sikap responsif terhadap inovasi baru yang lebih bagus (al-muhafadhoh ’ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah).
Dengan demikian, dalam konteks budaya, Aswaja mengajarkan kita untuk
lebih selektif terhadap pranata budaya kontemporer, tidak serta merta
mengadopsinya sebelum dipastikan benar-benar mengandung maslahat.[8]
Demikian juga terhadap tradisi lama yang sudah berjalan, tidak boleh
meremahkan dan mengabaikannya sebelum benar-benar dipastikan tidak lagi
relevan dan mengandung maslahat. Sebaiknya tradisi-tradisi tersebut
perlu direaktualisasi sesuai dengan perkembangan aktual apabila masih
mengandung relevansi dan kemaslahatan.
Pada
perkembangannya, definisi Aswaja berkembang menjadi sebagai berikut :
”Paham keagamaan yang dalam bidang Fiqh mengikuti salah satu dari
madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) ; dalam bidang
Aqidah mengikuti Imam Asy’ari dan Imam Maturidi, dan ; dalam bidang
Tasawuf mengikuti Imam Ghazali dan Imam Junayd al-Baghdady”. Definisi
tersebut sebenarnya merupakan penyederhanaan dari konsep keberagamaan
bermadzhab.
Pengertian
ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan
mengembangkan paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini bukan berarti NU
menyalahkan mazhab-mazhab mu’tabar lainnya, melainkan NU berpendirian
bahwa dengan mengikuti mazhab yang jelas metode dan produknya, warga NU
akan lebih terjamin berada di jalan yang lurus. Menurut NU, sistem
bermazhab adalah sistem yang terbaik untuk melestarikan, mempertahankan,
mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam, supaya tetap tergolong
Ahlussunnah Waljamaah. [9]
Di luar pengertian
di atas, KH. Said Agil Siradj memberikan pengertian lain. Menurutnya,
Ahlussunnah Waljamaah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang berlandaskan atas
dasar-dasar moderasi, menjaga keseimbangan, dan toleransi. Baginya
Ahlussunnah Waljamaah harus diletakkan secara proporsional, yakni
Ahlussunnah Waljamaah bukan sebagai mazhab, melainkan hanyalah sebuah manhaj al-fikr
(cara berpikir tertentu) yang digariskan oleh sahabat dan para
muridnya, yaitu generasi tabi'in yang memiliki intelektualitas tinggi
dan relatif netral dalam menyikapi situasi politik ketika itu. Meskipun
demikian, hal itu bukan berarti bahwa Ahlussunnah Waljamaah sebagai manhaj al-fikr adalah produk yang bebas dari realitas sosio-kultural dan sosio-politik yang melingkupinya.[10]
Pada Munas Alim Ulama di Lombok, dicetuskan bahwa keterikatan terhadap madzhab tidak hanya secara Qawlan (produk yang dihasilkan) saja, tetapi juga Manhajiyyan
(metode berpikirnya). Keputusan Ini juga menjadi jawaban atas kritikan
bahwa pola bermadzhab dalam tradisi keagamaan NU itu ternyata membuat
umat jumud, tidak berkembang.
NU juga telah merumuskan pedoman sikap bermasyarakat yang dilandasi paham Aswaja, yakni Tawasuth (moderat), Tasamuh (toleran), Tawazun (serasi dan seimbang), I’tidal (adil dan tegas), dan Amar Ma’ruf Nahy Munkar (menyeru kepada kebajikan dan mencegah kemunkaran).[11]
Aswaja
juga mengandung ajaran tentang sikap menghargai mayoritas dan
perbedaan. Oleh karenanya, NU sebagai penganut Aswaja lebih apresiatif
terhadap paradigma demokrasi. Bagi NU, perbedaan di tengah umat
merupakan keniscayaan. Karena itu harus disikapi secara arif dengan
mengedepankan musyawarah. Tidak boleh disikapi secara radikal dan
ekstrem hanya karena keyakinan atas kebenaran sepihak. Dalam Aswaja
dikenal dengan prinsip al-Sawad al-A’dham, berdasarkan hadits Nabi: fa idza raiytum ikhtilafan fa’alaykum bi sawad al-a’dzam..(jika kalian menjumpai perbedaan, ikutilah golongan yang terbanyak). Prinsip al-Sawad al-A’dhom ini didasarkan atas asumsi populer sebagaimana dalam hadits: ”La tajtami’u ummati ’ala al-dlalalah” (umatku tidak akan bersepakat atas kesesatan).
Sikap
kemasyarakatan seperti diataslah yang membuat NU dapat diterima dan
bekerjasama dengan semua kalangan, baik dalam internal umat Islam,
lintas agama dan bahkan dalam hubungan-hubungan internasional. Hal ini
dikarena NU mampu menyajikan Islam yang rahmatan lil-’Alamin, ramah, toleran, dan tidak ekstrem.
ASWAJA dan Problematika Kemanusiaan Masa Depan
Ideologi
apapun akan tampak kering jika pada tataran praksisnya sulit
bersentuhan dengan realitas kemanusiaan yang mengitarinya. Selayaknya
saat ini perdebatan konsep ataupun teologi Aswaja tidak lagi harus
berkutat pada tataran teroritis-normatif, akan tetapi sudah harus
melampaui batas-batas teologi itu sendiri sehingga Aswaja tidak lagi
disikapi sebatas sebuah landasan berpijak atau metode berfikir an sich.
Seiring dengan proses tentu metode ini akan terus melakukan evolusinya
ke arah yang lebih akseptabel, begitu pula dengan pemahaman umat dalam
melakukan penyelarasan faktualnya.
Katakanlah
saat ini Aswaja baik sebatas metode berfikir ataupun kerangka bermazhab
yang ideal telah mulai terbangun –khususnya di kalangan Nahdhiyin-,
langkah selanjutnya adalah bagaimana kesadaran yang telah terbangun itu
menggugah para pengikut Aswaja ini untuk merealisasikan nilai-nilai yang
ada dalam beberapa mazhab yang mu’tabar di atas ke dalam ruang aplikasi
hidup yang lebih nyata. Bahwa benarkah nilai-nilai Aswaja yang berupa
sikap moderasi dan toleran atau adil menjadi kesadaran komunal dalam
berbuat (amaliy) para pengikut Aswaja tersebut. Seberapa besar pola pikir (mind-sett)
mazdahib baik fikih, akidah, dan tasawuf memberikan inspirasi bagi
sebuah pergulatan pemikiran yang selalu berproses dan bukan sebatas
produk pemikiran yang telah siap jadi (stagnan). Baru setelah itu,
mampukah para pengikut Aswaja itu melakukan pemekaran atas substansi
Aswaja dari yang telah ada kepada hal yang baru dengan bersandarkan
kepada kebutuhan manusia yang semakin kompleks.
Mengingat tantangan
kemanusiaan yang teramat mendesak, yang menjadi agenda prioritas
(pergerakan) Aswaja di masa depan adalah, pencarian kembali makna dan
tujuan hidup (sense of meaning and purpose), sehingga Aswaja dapat difungsikan kembali sebagai guidance menuju realitas kesejarahan manusia yang hakiki.
Dari peta
sosiologi modernisasi jelas, bahwa akar pesoalan manusia modern adalah
penemuan kembali sistem makna yang dapat membebaskan dirinya dari segala
macam bentuk determinisme yang terdapat dalam pranata-pranata modern.
Di sinilah pentingnya menghadirkan kembali teologi dalam makna
historisnya sebagai sarana pembebasan.
Teologi yang membebaskan adalah yang berpusat pada manusia dan kekuatannya, atau humanistic Theology.
Manusia harus dapat mengembangkan kemampuan akalnya agar dapat memahami
dirinya, hubungannya dengan sesamanya dan kedudukannya di alam ini. Dia
harus mengenal kebenaran, dengan melihat pada keterbatasan maupun
potensinya. Dia juga harus mengembangkan rasa cinta pada orang lain
maupun pada dirinya serta merasakan solidaritas pada semua kehidupan.
Dia juga harus mempunyai prinsip dan norma untuk mengarahkan tujuannya
sendiri.
Upaya
menghadirkan teologi yang humanistik, dan sebaliknya menghindari dari
teologi yang otoritarian, sesungguhnya lebih mencerminkan sebagai
persoalan epistemologi. Artinya, lebih banyak disebabkan oleh faktor
interpretasi dari masing-masing penganut teologi. Letak permasalahannya
kemudian adalah “bukan pada teologi apa, tetapi berteologi yang bagaimana.”
Dalam
persfektif Islam misalnya, makna pembebasan teologi terletak pada
ajaran tauhid. Implikasi pembebasan atau efek pembebasan tidak hanya
dalam konteks tauhidullah dalam pengertian pembebabasan dari
semua ikatan ketuhanan yang absurd dan otoritarianistik. Tapi,
pembebasan dari semua struktur sosial, ekonomi, politik, budaya yang
cenderung menjadi determinan bagi kemerdekaan manusia.
Dalam
diskursus teologi Islam ini, efek pembebasan tauhid mengalami
reduksianisasi seperti dalam teologi Jabariah, Murjiah, serta teologi
sejenis yang sudah berkolaborasi dengan kemapanan struktur politik.
Artinya, Tuhan digambarkan sebagai sosok yang serba mengatur hidup
manusia.
Agaknya
persoalan di atas merupakan agenda intelektual bagi kalangan Aswaja ke
depan. Ini dapat dilakukan dengan mula-mula menghadirkan rancang bangun
teologi Aswaja sebagai rekonstruksi terhadap pemikiran lama yang
dianggap kurang memberikan sistem makna yang jelas, tidak membebaskan
dan terjebak pada status quo. Karena itu perlu dikembangkan suatu
pemikiran yang terbuka dan siap berhadapan dengan persoalan baru dan
penafsiran baru pula. Aswaja tidak boleh berhenti sebatas metode
berpikir (manhaj al-fikr) lagi, tetapi sudah harus menginspirasikan sebuah kebangkitan melalui metode berkarya (manhaj al-‘amal).
Dengan metode berkarya inilah Aswaja akan dirasakan manfaatnya, karena
keberadaannya tidak lagi mengawang di langit, namun telah bersenyawa
dengan kebutuhan manusia dan hidup di tengah realitas yang dinamik.
Penutup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar